Menuju konten utama
9 Oktober 1967

53 Tahun Kematian Sang Revolusioner Che Guevara

Di La Higuera, komandan gerilyawan itu tewas ditembak timah panas Karabin M1.

53 Tahun Kematian Sang Revolusioner Che Guevara
Ilustrasi Mozaik Che Guevara. tirto.id/Sabit

tirto.id - Ribuan warga tumpah ruah di jalanan Santa Clara, Kuba. Ada yang membawa poster, ada yang menyanyikan himne kemenangan. Hari itu mereka berkumpul jadi satu, memperingati setengah abad kepergian sosok karismatik, Che Guevara.

Setengah abad lalu, pada tahun-tahun sebelum kematiannya, keberadaan Che jadi misteri. Selepas Revolusi 1959, menjalankan pemerintahan, serta menjabat Direktur Bank Sentral Kuba, Che lenyap pada 1965.

“Saat itu, orang-orang mengatakan bahwa dia telah dibunuh oleh Fidel. Ada yang berkata, dia telah meninggal di Santo Domingo; ada juga yang berkata dia di Vietnam,” ujar Juan Carlos Salazar reporter asal Bolivia kepada The New York Times. “Tapi sesungguhnya, tak ada yang tahu dia di mana.”

Che tak benar-benar lenyap. Ia bergerilya di berbagai negara seperti Kongo, Tanzania, hingga akhirnya pada 1966 menuju Bolivia untuk menuntaskan operasi militer melawan pemerintahan René Barrientos Ortuno.

“Dia mengatakan bahwa dia ingin menciptakan dua atau tiga Vietnam,” ungkap Loyola Guzman, pemimpin pemuda komunis dari La Paz, merujuk pada Perang Vietnam. Harapan Che, revolusi tak sebatas meletus di Bolivia tapi juga di Argentina dan Peru. Guzman pun setuju dengan gagasan tersebut dan diminta mengumpulkan dukungan bagi kelompok revolusioner.

Meski Che dikenal di seluruh dunia, ketenarannya seperti tak berarti di mata petani Bolivia. Sebelum Che datang, Bolivia telah mengalami revolusi; melembagakan hak pilih, reformasi tanah, hingga akses pendidikan yang luas.

Kehadiran Che di desa yang disinggahinya tidak diharapkan oleh penduduk setempat. Reputasi milisi bersenjata yang dikenal gemar melakukan kekerasan, perampasan, serta pemerkosaan menjadi ganjalan terbesar. Walhasil, baik petani maupun penduduk sekitar tak ada yang ingin bergabung dengan kelompok pimpinan Che.

“Dia tidak memikirkan hal itu,” kata Carlos Mela, mantan presiden Bolivia dan sejarawan yang masih berusia 13 tahun kala Che tiba. “Dia gagal karena memang harus gagal.”

Kabar datangnya Che sampai juga ke telinga tentara Bolivia. Menurut pengakuan Gary Prado, mustahil mengalahkan kelompok gerilyawan dengan taktik “Guerilla Warfare” yang sudah menjadi pakem gerilya sayap kiri seluruh dunia. Namun kekhawatiran Prado sirna. Amerika dengan sentimen anti-Che bersedia menyokong dari belakang.

Ketika tentara Bolivia memperoleh dukungan yang cukup, gerilyawan Che justru melemah. Setibanya di Ñancahuazú yang tandus dan penuh onak duri, mereka kehilangan kontak radio dengan Kuba. Tak hanya itu, logistik mereka mulai merosot dan penyakit menyerbu akibat serangga. Situasi diperburuk dengan perpecahan internal.

Pada akhirnya, perjalanan Che harus berakhir di La Higuera. Prado, kapten yang memimpin operasi berhasil menangkapnya. Di tengah serangan asma dan luka tembak, Che menyerahkan diri.

“Saya merasa kasihan. Dia nampak miskin, lelah, dan kotor,” jelas Prado dalam wawancaranya bersama The Guardian. “Tidak kelihatan seperti pahlawan.”

Tatkala Che bertanya apa yang akan terjadi padanya, Prado menjawab bahwa kemungkinan dia diadili di Santa Cruz. “Baginya, kesempatan untuk diadili merupakan hal yang menarik,” terangnya.

Bagaimanapun, persidangan tak pernah terjadi. Sepasang peluru yang meluncur dari senapan Sersan Mario Teran pada 9 Oktober 1967, tepat hari ini 53 tahun lalu, menyudahi hidup Che.

Infgrafik Mozaik Haul Che Guevara

Infgrafik Mozaik Haul Che Guevara. tirto.id/Sabit

Che yang Dituduh Pembunuh

Amerika Serikat—melalui CIA—selama ini dianggap sebagai dalang utama di balik tewasnya Che. Anggapan itu tentu saja ditolak oleh AS. Agen CIA Amerika-Kuba, Felix Rodriguez menyebut kematian Che merupakan kesalahan fatal Bolivia. Selain menyalahkan Bolivia, Felix juga mengungkapkan bahwa sosok Che tak lebih dari seorang “pembunuh.”

Belen Fernandez, penulis Coffee with Hezbollah (2010) dan The Imperial Messenger: Thomas Friedman (2011) berpendapat, ketidaksukaan Che kepada Amerika bukan bersumber dari perubahan rezim yang kerap dilakukan dengan cara-cara kudeta militer yang disponsori oleh Paman Sam. Pada 1954, Che menyaksikan kudeta CIA terhadap presiden Guatemala yang terpilih secara demokratis, Jacobo Arbenz. Kudeta dilakukan karena kebijakan Arbenz berdampak buruk pada United Fruit Company.

"Pada saat Che dibunuh, AS terlibat dalam affair yang luar biasa berdarah bernama Perang Vietnam, di mana beberapa juta orang tewas," tulis Fernandez. Bahkan, mengutip laporan New Yorker, menjelang akhir Perang Vietnam pada 1975, lebih dari empat puluh ribu orang Vietnam tewas akibat UXO (Unexploded Ordnance, bom, ranjau darat, dan amunisi lainnya yang gagal meledak namun masih aktif).

Proses radikalisasi di Guatemala akhirnya membawa Che ke Kuba, membantu proses penggulingan diktator Fulgencio Batista yang disokong AS. Lalu di Kongo, Che membantu sisa-sisa gerakan nasionalis Patrice Lumumba yang sudah dihabisi agen-agen CIA. Sementara di Bolivia, Che melakukan hal serupa. Sayangnya, di dua negara terakhir usaha Che kandas.

Saul Landau sutradara dokumenter Fidel! (2009) menggambarkan sosok Che sebagai petarung tangguh "yang secara tidak sadar mengutus pengkhianat, tapi di lain sisi menolak membiarkan musuhnya terluka tanpa diobati.” Landau menambahkan, Che adalah seorang pria yang membangun rumah sakit dan sekolah dengan cinta.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 18 Oktober 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait REVOLUSI KUBA 1959 atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Humaniora
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf & Irfan Teguh