Menuju konten utama

51% Saham Freeport Sudah Milik Negara, Kok Smelter Mundur Terus?

Permintaan ini menjadi sinyal ketidakkonsistenan Freeport dalam memegang komitmen bangun smelter.

51% Saham Freeport Sudah Milik Negara, Kok Smelter Mundur Terus?
Ilustrasi Area pengolahan mineral PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Papua. Foto Antara/Puspa Perwitasari

tirto.id - PT Freeport Indonesia (PTFI) meminta penundaan target pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur dari selesai 2023 menjadi 2024. Wakil Presiden Direktur PTFI Jenpino Ngabdi mengatakan penundaan ini terkait COVID-19.

Jenpino mengatakan vendor dan kontraktor Engineering Procurement Construction (EPC) belum dapat memfinalisasi biaya dan waktu proyek. Mereka terkendala kebijakan pembatasan negara asalnya akibat pandemi.

“Diperlukan revisi jadwal baru. Apabila memungkinkan agar kami diberi kelonggaran penyelesaian smelter hingga 2024,” ucap Jenpino dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI, Kamis (28/8/2020).

Permintaan ini juga disampaikan oleh PT Freeport-McMoran seperti diberitakan metalbuletin. Dalam paparan kinerja kuartal I-2020 pada April 2020, Presiden dan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson mengaku sudah memberitahu pemerintah RI.

Sponsor penundaan target juga datang dari dalam negeri. Direktur Utama Holding Pertambangan MIND ID Orias Petrus Moedak, Jumat (15/5/2020), mengatakan pembangunan saat ini memang sulit. Ia bilang smelter berada di zona merah COVID-19 sehingga menyulitkan kontraktor.

Pinjaman 2,8 miliar dolar AS dari beberapa bank juga mengalami penjadwalan ulang. Pencairan dana akan disesuaikan dengan jadwal pembangunan teranyar.

Dalam paparan PTFI, realisasi pembangunan smelter sampai Juli 2020 juga tak terlalu memuaskan. Secara keseluruhan, realisasinya baru 5,86% padahal sudah disepakati dengan pemerintah targetnya 10,5%.

Pembangunan fasilitas precious metal refinery (PMR) yang terpadu dengan smelter katoda tembaga juga tak mencapai target. Pada Juli 2020, realisasinya hanya 9,79% dari target 14,29%.

Permintaan Freeport ini banjir penolakan dari anggota Komisi VII DPR RI. Seluruh fraksi di Komisi VII sepakat meminta pembangunan smelter tetap dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan sesuai target. “Pemerintah tidak memberikan relaksasi berupa penundaan pembangunan smelter PTFI,” ucap Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi PAN Eddy Soeparno membacakan kesimpulan rapat.

Pakar Hukum Pertambangan dan Sumber Daya Alam Universitas Tarumanegara Ahmad Redi mengatakan Freeport sudah berkali-kali menunda pembangunan smelter. Pembangunan smelter seharusnya dimulai pada 1997, tetapi tidak digubris hingga diwajibkan oleh UU 4/2009 tentang Minerba.

Berdasarkan regulasi ini, Freeport dan perusahaan tambang lain diberi waktu selama 2009-2014. Namun sampai 2014, Freeport tak memenuhinya bahkan mendapat relaksasi sampai 2017. Pada 2017, penundaan-relaksasi terulang.

Pada 2018, komitmen membangun smelter akhirnya muncul dalam divestasi saham 51 persen oleh pemerintah. Ahmad bilang komitmen itu muncul karena mereka sudah terdesak lantaran Kontrak Karya (KK) PTFI akan berakhir di 2022, sementara syarat mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah dengan berjanji membangun smelter.

Izin Freeport pun diperpanjang sampai 2041.

Oleh karena itu menurutnya, permintaan penundaan Freeport kali wajib ditolak. “PTFI harus konsisten. Kalau terus terjadi, tata kelola mineral kita semakin enggak keruan,” ucap Ahmad saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (28/8/2020).

Ahmad juga mengkritik sikap pemerintah yang ia nilai terlalu lembek sehingga Freeport tampak tak segan menunda pembangunan. Ia mencontohkan saat pembangunan smelter ditunda pada 2014 dan 2017, Kementerian ESDM tetap memberi rekomendasi izin ekspor konsentrat.

Pun masa-masa awal usai divestasi. Jumat (13/9/2019) lalu misal, Kementerian ESDM malah memberi tambahan kuota ekspor konsentrat dari sebelumnya 198.282 ton menjadi 700 ribu ton. Pada April 2020 bahkan ditambah lagi sehingga totalnya menjadi 1.069.000 ton konsentrat untuk ekspor sampai Maret 2021.

Ini ironis lantaran pemerintah sebenarnya mempunyai instrumen pemaksa dan pengawasan agar pembangunan smelter bisa berjalan maksimal, katanya. “Ada kegagalan pemerintah. ESDM diberi kewenangan luar biasa sampai pemberian sanksi dan pencabutan IUPK kalau perusahaan bandel,” ucap Ahmad.

Kenyataannya instrumen itu tidak dipakai. Perusahaan malah diberi karpet merah.

Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan pemerintah menolak permintaan penundaan.

“Jadi kira-kira lu jangan bilang-bilang enggak bisa. Kerjain aja semaksimal mungkin. Kalau sampai pada waktunya enggak bisa, enggak bisa, mau gimana? Tapi jangan sekarang bilang enggak bisa,” ucap Ridwan kepada wartawan usai rapat Komisi VII DPR RI, Kamis (27/8/2020).

Sementara Vice President Corporate Communication PTFI Riza Pratama memberikan pernyataan yang mengindikasikan mereka mau tak mau bakal menunda pembangunan. “PTFI dan pemerintah (dalam hal ini Kementerian ESDM) perlu melakukan penyesuaian terhadap rencana pembangunan smelter,” ucap Riza dalam pesan singkat, Jumat (28/8/2020).

Ia lantas memastikan Freeport tetap berkomitmen membangun smelter di Gresik sebagai bagian kesepakatan divestasi. Buktinya, dalam verifikasi Januari 2020, kemajuan pembangunan yang baik. Realisasinya 4,88% dari rencana 4,08%.

Karena COVID-19, pembangunan terhambat atau malah tidak dilakukan sama sekali dalam enam bulan terakhir.

Baca juga artikel terkait SMELTER FREEPORT atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz