Menuju konten utama

41 Ribu Hektare Hutan di Luwu Timur Tergerus Tambang Nikel

Pada 2009 luasan tutupan hutan di Luwu Timur masih seluas 428 ribu hektare, namun pada 2020 hingga kini hanya seluas 387 ribu hektare.

41 Ribu Hektare Hutan di Luwu Timur Tergerus Tambang Nikel
Aktivitas bongkar buat tambang nikel keatas kapal tongkang PT Tiran Mineral di Kecamatan Lasolo, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Jumat (11/6/2021). ANTARA FOTO/Jojon/hp.

tirto.id - Organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan mengungkapkan luas hutan di wilayah Kabupaten Luwu Timur (Lutim), Sulawesi Selatan mengalami degradasi atau kehilangan tutupan hutan sekitar 41 ribu hektare. Penyebabnya adalah aktivitas tambang nikel selama lebih dari satu dekade di wilayah setempat.

"Tutupan hutan di Kabupaten Lutim terus tergerus, setidaknya ada 41 ribu hektare luas tutupan hutan telah beralih fungsi sejak tahun 2009 hingga 2020. Hilangnya fungsi hutan ini merupakan titik awal bencana ekologi terjadi di Lutim," ungkap Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin di Makassar, Senin (27/12/2021) dilansir dari Antara.

Hal itu berdasarkan sumber Sistem Monitoring Hutan Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui diagram perubahan luas tutupan hutan di Kabupaten Luwu Timur, sejak 2009, 2014 dan 2020.

Rinciannya, data pada 2009 tercatat luasan tutupan hutan di kabupaten itu masih seluas 428 ribu hektare. Lalu pada 2014 berkurang menjadi seluas 412 ribu hektare, hingga pada 2020 terus tergerus dan kini hanya seluas 387 ribu hektare.

Jika dihitung selama 12 tahun aktivitas pertambangan nikel di Lutim, tutupan hutan telah hilang seluas 41 ribu hektare.

Bila melihat data tersebut, kata dia, ekspansi pertambangan nikel dan penghancuran ruang hidup rakyat terus berlanjut. Praktik aktivitas pertambangan di Indonesia khususnya di Lutim selama ini kecenderungannya dekat terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM.

Bahkan, tahap awal penentuan lokasi izin usaha pertambangan pengambilan keputusan atas wilayah pertambangan tidak pernah dilakukan secara partisipatif bersama dengan masyarakat adat ataupun komunitas lokal yang telah lebih dulu mendiami wilayah tersebut.

Sosialisasi dan konsultasi yang dilakukan perusahaan pertambangan, papar Amin, diduga hanya sebatas pemenuhan syarat untuk mendapatkan izin dari pemerintah.

Proses selanjutnya, penetapan wilayah konsesi pertambangan melalui Izin Usaha Pertambangan (IUP) dikeluarkan, tapi dinilai merampas hak atas lahan masyarakat setempat.

"Seperti pada kasus perampasan tanah masyarakat adat Karunsi'e, wilayah utara konsesi PT Vale Indonesia. Tanah adat dikelola masyarakat diklaim milik perusahaan atas dalih IUP. Tentunya, ini memicu pelanggan HAM, berimbas pada praktik kekerasan, intimidasi aparat kepada masyarakat adat di sana" ungkap Amin.

Selain itu, ada dugaan pencemaran lingkungan atas beroperasinya beberapa perusahaan pertambangan nikel di Sulsel. Dari penelusuran fakta di lapangan diduga pembuangan limbah berupa sedimen bekas tambang, sulfur atau zat-zat berbahaya di ekosistem yang menjadi sumber penghidupan masyarakat, dibuang di danau, sungai hingga di pesisir dan laut.

Untuk dampak aktivitas pertambangan nikel selama lebih dari satu dekade, beber Amin, memperlihatkan buruknya tata kelola pertambangan nikel di Indonesia, khususnya di Lutim. Tingkat deforestasi dan pelanggaran HAM juga menunjukkan tren peningkatan.

"Untuk itu, pemerintah diminta segera menghentikan penerbitan IUP baru di Sulawesi, dan meninjau ulang izin tambang yang diterbitkan. Hal terpenting dilakukan pemerintah pusat dan daerah adalah, menyelamatkan dan melindungi bentang alam hutan dan kehidupan masyarakat di Pulau Sulawesi," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KERUSAKAN HUTAN

tirto.id - Sosial budaya
Sumber: Antara
Editor: Bayu Septianto