Menuju konten utama

2020 Tahun Represi: Polisi Aktor Utama Kekerasan terhadap Jurnalis

Jurnalis mengalami kekerasan bertubi-tubi pada 2020, demikian laporan LBH Pers. Jumlahnya naik ketimbag tahun 2019.

2020 Tahun Represi: Polisi Aktor Utama Kekerasan terhadap Jurnalis
Polisi menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa saat terjadi bentrok di depan kampus Universitas Negeri Makassar (UNM), Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/10/2020). ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/foc.

tirto.id - Tahun 2020 menjadi tahun yang kelam bagi demokrasi di Indonesia. Banyak pekerja pers, instansi yang disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi, mengalami tindak kekerasan. Aktor utamanya tak lain kepolisian. Demikian temuan utama dari laporan tahunan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.

Data yang dihimpun dari monitoring pemberitaan media, aduan langsung, hingga konfirmasi kepada korban menemukan angka kekerasan mencapai 117, naik 32 persen dibandingkan tahun 2019 dengan 79 kasus.

Dari jumlah tersebut, Polri menjadi aktor kekerasan terbanyak, jumlahnya 76. “Institusi yang mestinya hadir untuk menjamin pemenuhan hak asasi manusia dan penegakan hukum ini justru tampil sebagai aktor utama kekerasan,” kata Direktur LBH Pers Ade Wahyudin, Selasa (12/1/2020) lalu.

Pihak lain yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis adalah: TNI sebanyak 2 kasus; jaksa 2 kasus; pengamanan sipil 3 kasus; kepala daerah 4 kasus; pejabat 1 kasus; kerabat pejabat 2 kasus; massa 5 kasus; pengusaha 4 kasus; individu 5 kasus; pengacara 1 kasus; dan terakhir anonim atau tanpa identitas 12 kasus.

Jumlah korban mencapai 99, 12 jurnalis pers mahasiswa, dan 6 instansi media. Bentuk kekerasan yang paling sering dialami oleh jurnalis adalah intimidasi/kekerasan verbal sebanyak 51 kasus; penganiayaan 24 kasus; perampasan/perusakan alat kerja 23 kasus, hingga serangan digital 12 kasus.

Kasus kekerasan tersebar di sejumlah provinsi. DKI menjadi daerah terbanyak, yaitu 29 kasus, disusul Jawa Timur 25 dan Maluku Utara 10.

Represivitas banyak terjadi saat aksi memprotes Rancangan Undang-undang (UU) Cipta Kerja pada Oktober 2020. Kini peraturan tersebut telah menjadi undang-undang. "Tersebarnya wilayah terjadinya kekerasan banyak disebabkan oleh aksi protes pengesahan Undang-Undang Omnibus Law," katanya.

Tragis dan Memprihatinkan

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan menyatakan kekerasan terhadap jurnalis apalagi yang dilakukan polisi merupakan hal yang tragis dan memprihatinkan. Pasalnya, kerja-kerja jurnalistik dilindungi oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di sana tegas dinyatakan bahwa semua pihak, termasuk polisi, tidak boleh menghalangi apalagi sampai melakukan tindak kekerasan. Jika itu terjadi, maka mereka telah melanggar hukum.

"Polisi diajari tidak tentang HAM sehingga melakukan kekerasan? Menurut saya itu tidak menghargai kebebasan berpendapat. Polisi seperti buta UU Pers ketika menjalani tugasnya," kata Abdul kepada reporter Tirto, Rabu (13/1/2021).

Dia mengatakan AJI selalu mendesak Polri untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis. Sayangnya pelaku seolah mendapatkan impunitas dari institusinya sehingga tidak sampai diproses secara hukum. "Karena adanya impunitas, mereka bisa seenaknya terus-menerus melakukan tindak kekerasan kepada jurnalis."

Manan tak mau hal seperti ini terjadi lagi tahun ini. Dia berharap calon Kapolri yang diusulkan Presiden Joko Widodo, yakni Listyo Sigit Purnomo, dapat berbuat lebih baik. "Kapolri yang baru harus berani melakukan penegakan hukum kepada anggotanya yang melanggar," pungkasnya.

Selain UU Pers, pengajar kriminologi di Universitas Indonesia (UI) Leopold Sudaryono menyatakan kekerasan terhadap jurnalis juga melanggar pasal 170 jo pasal 351 KUHP. Ia juga mencederai hak konstitusi warga negara untuk mendapat informasi sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 pasal 18F.

"Ini ironis dan seharusnya tidak terjadi karena KUHP dan UU Pers tegas menyatakan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya adalah kejahatan dengan ancaman pidana penjara," kata Leopard kepada reporter Tirto, Rabu.

Berdasarkan Peraturan Kepala Polri (Perkapolri) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, petugas hanya memiliki kewenangan menggunakan kekuatan untuk tujuan mencegah/menghentikan kejahatan, mencegah pelaku melarikan diri, melindungi diri/masyarakat dari serangan kejahatan. Apabila menggunakan kekuatan berlebihan bahkan sampai represif kepada jurnalis, dia bilang polisi juga telah melanggar peraturan itu.

"Tindakan petugas seperti ini juga mengganggu upaya keras Polri dalam menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap hadirnya Polri yang modern, profesional, dan non militeristik, yang berbeda dengan kondisi saat Orde Baru," pungkasnya.

Reporter Tirto telah menghubungi Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono untuk dimintai tanggapan soal temuan ini. Namun hingga berita ini ditayangkan, yang bersangkutan belum juga merespons.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN JURNALIS atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino