Menuju konten utama

20 Tahun Proyek Geotermal Mataloko: Listrik Nihil, Lahan Rusak

Sudah 20 tahun proyek panas bumi di NTT mangkrak. Warga justru mendapat petaka alih-alih listrik yang menyejahterakan.

20 Tahun Proyek Geotermal Mataloko: Listrik Nihil, Lahan Rusak
Header Indepth Proyek Gagal Panas Bumi Mataloko. tirto.id/Ecun

tirto.id - Satu hari pada Oktober 2014 lalu, Sabina Itu pusing dan tak sanggup menyembunyikan kesedihan. Keluarganya dilanda kebingungan ketika harus membongkar kembali makam orang tuanya. Langkah itu harus dilakukan guna menghindari semburan lumpur panas akibat kebocoran pengeboran Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mataloko, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.

Seng atap rumah warga hancur, udara berubah jadi kotor, lahan-lahan produktif menjadi rusak.

“Kami gali kubur orang tua kami ini, karena kami takut nanti di tempat kubur ini dia dapat semburan dari bawah,” kata Mama Sabina—sapaan akrabnya—dalam sebuah video. “Tak ada bantuan dari mana-mana. Yang kami angkat kubur ini adalah usaha dari keluarga kami sendiri.”

Sebabnya, sudah banyak lahan milik warga—berbentuk kebun dan sawah—yang rusak dan jauh dari perhatian negara akibat proyek tersebut. Padahal, kata Mama Sabina, lahan tersebut adalah warisan nenek moyang yang sejak dulu tak pernah ada masalah. Janji manis pengeboran panas bumi bisa sejahterakan warga sekitar jauh dari realisasi.

“Kami lepas lahan yang sedang kami olah. Tidak dipakai lagi. Karena semburan di setiap persawahan atau kebun dari semburan air panas,” tambahnya.

Saat itu, warga hanya mendapat bantuan berupa beras, ikan kaleng, hingga mie instan—yang tidak menyelesaikan masalah secara substansial. “Itu bukan bantuan untuk kehidupan kami selanjutnya,” kata Mama Sabina.

Mama Sabina merupakan satu dari sekian banyak warga Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang terdampak dari proyek PLTP Mataloko yang gagal. Pengeboran yang awalnya hanya dilakukan di Desa Ratogesa, ternyata memicu semburan lumpur panas di wilayah-wilayah lain termasuk di desa sebelah—Desa Ulu Belu.

Dalam dokumen investigasi tahun 2015 oleh Justice, Peace, and Integrity of Creation Ordo Fratrum Minorum (JPIC-OFM) Nusa Tenggara Timur, organisasi masyarakat Katolik yang fokus mengadvokasi kasus kerusakan lingkungan, yang diterima wartawan Tirto, proyek yang sudah dirancang sejak 1998 ini memang pertama disosialisasikan pada 2000. Sebagian warga setuju. Bahkan ada yang menjual tanahnya senilai 35 juta rupiah per 1,5 hektare.

Pada 2002, pengeboran pertama kali dilakukan lewat tiga titik di atas tanah seluas lima hektare. Titik satu dan dua sedalam 200 meter, sedangkan titik tiga sedalam 700 meter—yang seharusnya sedalam 1.200 meter.

Namun, pengeboran tersebut mengalami kebocoran—berupa semburan lumpur dan gas panas—yang memberi banyak dampak buruk: atap rumah warga berkarat dan rusak, hasil komoditi menurun drastis, banyak lahan tak produktif lagi, hingga kesehatan warga terganggu—terutama infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

“Bahkan, banyak sapi yang tercebur ke dalam lumpur,” tulis dokumen investigasi itu.

Jelang dua dekade setelah pengeboran pertama kali dilakukan, sejumlah dampak buruk juga tak kunjung mereda: 1.579 rumah rusak, 11 desa terdampak, hingga satu sungai yang biasa jadi sumber air warga tercemar lumpur panas.

Hasil listrik tak ada, warga justru sengsara.

Proyek Gagal Dana Internasional

Energi panas bumi memang menjanjikan. Ia dianggap bisa menjadi jalan alternatif untuk mengurangi penggunaan energi kotor. Di Indonesia, potensinya mencapai 29.500 megawatt dari 330 titik. Angka tersebut sama dengan 40 persen potensi dari potensi panas bumi di dunia. Indonesia menduduki nomor tiga di bawah Amerika Serikat dan Filipina. Hingga saat ini, baru 1.700 megawatt yang dimaksimalkan.

Panas bumi juga menjadi salah satu energi yang bersifat site specific—hanya spesifik di lokasi tertentu saja. Ia biasanya mudah ditemukan keberadaannya dekat dengan gunung api karena berkaitan dengan dapur magma dan sumber air.

Sumber air yang terpanaskan oleh magma tersebut menghasil uap panas bersuhu sekitar 240-310 derajat celcius. Uap panas inilah yang digunakan untuk menggerakkan turbin yang terhubungan generator sehingga bisa menghasilkan arus listrik.

Potensi energi terbarukan inilah yang bikin Asian Development Bank (ADB) mau kucurkan dana hingga $500 juta untuk pembangunan tiga PLTP pada 2011—salah satunya PLTP Mataloko.

Di wilayah pengeboran PLTP Mataloko, cadangan panas bumi untuk dikonversikan menjadi listrik diperkirakan mencapai 20 megawatt. Dengan luas lahan mencapai 210.700 meter persegi, ia masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menargetkan infrastruktur ketenagalistrikan mencapai 35.000 megawatt.

Awalnya proyek tersebut ditargetkan mulai bisa mengalirkan listrik ke ibukota Kabupaten Ngada, Bajawa, pada 2019. Namun nyatanya jauh panggang dari api. Hingga 2020, pengeboran PLTP Mataloko gagal dan justru menghasilkan pekat belerang. Pihak PT PLN sendiri hanya bisa bikin pagar batas dengan menggunakan seng. Tahun lalu, statusnya masih tahap eksplorasi dan masih butuh dana sekitar Rp101,8 miliar. Belakangan, target operasi PLTP Mataloko juga mundur hingga 2024.

“Sampai hari ini belum menghasilkan listrik untuk masyarakat Ngada,” kata salah satu warga Desa Ulu Belu, Maria Kristian Bupu, kepada Metro TV Mei lalu.

Tirto mencoba menghubungi pejabat senior di bidang komunikasi ADB, Cahyadi Indrananto, soal pemantauan lembaganya terhadap proyek ini. Mengingat, ADB menjadi salah satu lembaga keuangan internasional yang rutin kucurkan dana untuk proyek energi bersih. Namun, minim komentar.

“Saya coba cari di beberapa sumber, memang ada pernyataan PLN tahun 2011 bahwa ADB akan membiayai PLTP Mataloko. Tapi di arsip internal kami, yang saat ini saya temukan cuma assessment terhadap dua PLTP yang lain: Karaha Bodas dan Sungai Penuh,” katanya kepada Tirto, (21/8).

“Saya akan coba cari informasi lagi ya. Kemungkinan ada data yang saya belum temukan. Bisa jadi juga ADB sebenarnya tidak jadi membiayai Mataloko,” tambahnya.

Tahap eksplorasi yang dikatakan oleh PT PLN pada 2021 itu justru bikin Antonius Anu, warga berumur 27 tahun, khawatir. Sebab, saat ini pihak PLTP Mataloko sedang gencar melakukan eksplorasi pengeboran di dua desa lainnya: Desa Radabata dan Desa Dadawea. Toni, sapaan akrabnya, tinggal di Desa Radabata.

Ia menjadi salah satu motor penggerak warga di dua desa tersebut yang menolak rencana itu. Toni menilai pihak PLTP Mataloko seperti tidak belajar dari kasus kebocoran akibat bor di Desa Ratogesa.

“Di sana, rumah warga hancur, lahan pertanian sudah tidak subur, komoditas kopi, jagung, sayur-sayuran, alpukat, kakao, cokelat, hingga padi hilang,” kata Toni kepada Tirto, (21/8). “Melihat kebocoran di sana, bisa jadi semua di Radabata akan jadi korban.”

Padahal, kata Toni, praktik pengeboran sebelumnya hanya dilakukan di Desa Ratogesa namun efeknya menyebar ke banyak titik dengan kerusakan yang berbeda-beda hingga ke Desa Ulu Belu. Ia takut hal serupa terjadi di desanya.

“Desa Radabata dan Desa Dadawae dalam ancaman,” katanya.

Tirto telah menghubungi Juru Bicara Gubernur NTT Prisilia Pareira dan Juru Bicara PT PLN Intan Fahdiana soal 20 tahun proyek panas bumi Mataloko dan dampak buruknya ke warga. Namun, hingga 21 Agustus sore, tak ada jawaban.

Belakangan, masih pada Agustus 2022, PT PLN masih tetap ingin melakukan pengadaan lahan untuk proyek panas bumi Mataloko. Mereka akan menggunakan dua instrumen hukum kerap digunakan untuk menggusur warga: Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Omnibus Law).

Infografik Indepth Proyek Gagal Panas Bumi Mataloko

Infografik Indepth Proyek Gagal Panas Bumi Mataloko. tirto.id/Ecun

Nafsu Besar Panas Bumi

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mencatat setidaknya ada sembilan insiden terkait proyek-proyekan panas bumi di seluruh Indonesia sepanjang 2007 sampai 2022. Setidaknya tercatat tujuh orang tewas dan 80 orang luka-luka dari seluruh kejadian itu.

Dengan banyaknya masalah bersamaan warga yang jatuh sebagai korban, negara seolah tidak belajar dan enggan melakukan evaluasi. Pada 2017, Menteri ESDM Ignasius Jonan malah menetapkan Pulau Flores sebagai “Pulau Panas Bumi”—yang justru ironis dengan wajah 20 tahun kegagalan PLTP Mataloko.

Belakangan muncul proyek-proyek panas bumi serupa di Pulau Flores yang mendapat perlawanan deras dari masyarakat sekitar: PLTP Ulumbu di Kabupaten Manggarai dan PLTP Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat.

Oleh karena itu, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) ragu apakah keputusan Menteri ESDM pada 2017 diteken untuk kepenting masyarakat atau kepentingan industri skala besar yang justru meminggirkan masyarakat di sekitar proyek-proyek panas bumi.

“Persoalannya bukan semata-mata apakah ini [energi] bersih atau tidak,” kata Koordinator Nasional JATAM, Melky Nahar. “Tapi, apakah untuk melayani masyarakat yang saat ini belum terpenuhi kebutuhan listriknya atau untuk industri besar seperti pariwisata?”

Baca juga artikel terkait PROYEK GEOTERMAL atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Indepth
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Adi Renaldi