Menuju konten utama
23 Juli 1998

23 Tahun PKB: Dilema Ideologi Moderat & Pengakuan kepada Minoritas

PKB didirikan para warga nahdliyin sebagai partai terbuka. Bagaimana ia memandang isu pemimpin Muslim dan Tionghoa?

23 Tahun PKB: Dilema Ideologi Moderat & Pengakuan kepada Minoritas
Ilustrasi Mozaik Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa. tirto.id/Sabit

tirto.id - Ketika Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dideklarasikan pada 23 Juli 1998, tepat hari ini 23 tahun lalu, Arifin Djunaidi ketar-ketir. Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini telah didapuk sebagai ketua panitia deklarasi. Ada lima orang yang sudah disepakati sebagai deklarator PKB pada malam sebelumnya. Namun, dari lima orang itu, siapa yang bisa membaca naskah deklarasi?

Muhammad Ilyas Ruchiyat, Rais Aam PBNU, bisa datang setelah acara. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Ketua Umum PBNU, sedang tidak fit; kondisi kesehatannya tidak memungkinkan. Sedangkan Munasir Ali, kiai kelahiran tahun 1919 yang sempat menjadi juru kampanye partai NU pada Pemilu 1955, dianggap terlalu sepuh. Sementara itu, Mustofa Bisri alias Gus Mus belum juga muncul.

Satu jam sebelum acara dimulai, Arifin menghampiri Muchith Muzadi, kiai yang menjabat Rais Syuriyah PBNU. Muchith adalah salah satu dari lima deklarator NU yang telah disepakati. Cara Arifin membujuk sang kiai kemudian dicatat dalam Kiai Kelana: Biografi Kiai Muchith Muzadi (2000).

“Nanti Pak Muchith yang baca,” ujar Arifin.

Sampean kok merintah saya?” balas Muchith.

“Nggak, saya kan ketua panitia, Pak Muchith,” ujar Arifin.

“Eyo lah sakarepmu. Aku kan iso moco,” kata Muchith.

Pada akhirnya, Muchith membacakan deklarasi tersebut. Deklarasi singkat yang terdiri dari lima paragraf itu ditutup dengan kalimat:

“Maka dengan memohon rahmat, taufiq, hidayah, dan inayah Allah SWT, serta didorong oleh semangat keagamaan, kebangsaan, dan demokrasi, kami warga Jamiyah Nahdlatul Ulama dengan ini menyatakan berdirinya partai politik yang bersifat kejuangan, kebangsaan, terbuka, dan demokratis yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa.”

Lebih dari empat dasawarsa sebelum PKB didirikan, NU sempat menjadi partai politik yang meraup hampir 7 juta suara dan diganjar 45 kursi di DPR pada Pemilu 1955. Namun, Partai NU dan 3 partai Islam lain dipaksa pemerintah Orde Baru untuk berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973. Sebelas tahun kemudian, NU menyatakan "Kembali ke Khittah 1926": keluar dari PPP dan tak lagi menjadi parpol.

Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, para kiai merasa warga NU perlu punya saluran politik sendiri. PKB pun lahir melalui pembahasan yang alot dan panjang di antara para kiai. Sejumlah kiai menginginkan partai yang dibentuk semestinya berasas Islam, beberapa kiai lain menghendaki partai yang bersifat plural dan berasas Pancasila. Pendapat kedua ini yang menang. Naskah deklarasi PKB secara jelas menyatakan bahwa PKB merupakan partai terbuka.

Dipilihnya nama “Kebangkitan Bangsa” alih-alih “Kebangkitan Umat”, “Nahdlatul Ummah”, atau “Kebangkitan Rakyat” pun sudah menyiratkan bahwa PKB mengedepankan moderasi.

“PKR dinilai terlalu kiri, PKU dan PNU terlalu kanan, tidak sesuai dengan napas dasar NU yang moderat, kemudian disepakati PKB untuk diusulkan dalam rapat pleno PBNU,” sebut Matori Abdul Djalili, ketua umum pertama PKB, dalam Pergulatan Membela yang Benar: Biografi Matori Abdul Djalil (2008).

Gus Dur, Cak Imin, dan Jalan Tengah PKB

Dua puluh tiga tahun berlalu sejak deklarasi tersebut dan PKB mengalami pasang-surut sebagaimana partai-partai lain. Peneliti politik Marcus Mietzner menuliskan dalam Military Politics, Islam, and the State in Indonesia (2009) bahwa pada 2004, posisi ideologis PKB, yang saat itu dipimpin Gus Dur, semakin ke tengah.

Gus Dur memang dikenal sebagai kiai yang moderat. Kecenderungan PKB yang semakin ke tengah itu dipengaruhi juga oleh keluarnya kiai-kiai yang tidak sepaham dengan kepemimpinan Gus Dur.

“Dia tidak hanya memastikan bahwa tiga posisi tertinggi di PKB dijabat keluarganya, tetapi dia juga mengambil langkah konkret yang membuktikan bahwa PKB memang mengusung agenda yang pluralistis,” sebut Mietzner.

Atas arahan Gus Dur, sebagaimana dicatat Mietzner, non-Muslim dipilih sebagai ketua PKB cabang Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur. Sedangkan Nursyahbani Katjasungkana, seorang non-NU, dipilih sebagai ketua PKB cabang Jakarta.

Saat ini, PKB dipimpin Muhaimin Iskandar. Laki-laki yang akrab disapa Cak Imin atau Gus Ami itu menjabat Ketua Umum DPP PKB sejak 2008. Pada Pemilu 2014 PKB meraup 9,04 persen suara. Sementara pada Pemilu 2019 meraih 9,69 persen suara.

Pada 2014, Cak Imin terpilih kembali sebagai ketua umum. Ia dinilai menyelamatkan keruntuhan PKB setelah konflik antara dirinya dan Gus Dur pada 2008. Sebab pada Pemilu 2009, PKB hanya meraup 4,95 persen suara, anjlok dari yang mereka peroleh pada Pemilu 2004 sebesar 10,61 persen.

Pada tahun itu pula, Rushdi Kirana, CEO Lion Air yang beragama Kristen, masuk PKB dan langsung mendapat posisi wakil ketua umum. Rusdhi mengatakan bahwa dia akan menyokong pendanaan PKB, namun tidak di semua pos anggaran.

“Kita minoritas harus mendekati mayoritas. Saat saya ke Banten, para santri minta foto-foto bareng saya. Kalau minoritas melakukan sesuatu untuk negara ini akan membuat perbedaan makin berkurang. Saya sudah biasa soal ini,” ujar Rushdi tak lama setelah masuk PKB, seperti dilansir Merdeka.

Di Tengah, Dekat dengan PAN

Lantas, bagaimana posisi ideologis PKB saat ini?

Untuk menjawab itu, hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Australia National University (ANU) terhadap 508 anggota DPRD tingkat provinsi di 31 provinsi di Indonesia pada akhir Desember 2017 hingga awal Januari 2018 bisa dijadikan acuan.

Para anggota DPRD tingkat provinsi yang menjadi responden survei tersebut secara statistika dianggap mewakili populasi anggota parlemen tingkat provinsi secara nasional. Hasil survei tersebut juga dianggap menggambarkan sikap parpol terhadap suatu isu yang diajukan dalam survei.

Dalam “Mapping Indonesian Political Spectrum” (2018), Edward Aspinall, Burhanuddin Muhtadi, Diego Fossati, dan Eve Warburton mengelaborasi hasil survei tersebut dengan menghitung rata-rata skor yang tiap responden berikan terhadap suatu isu. Survei LSI dan ANU memberikan sejumlah pertanyaan terkait ideologi dan para responden diminta memberi skor 1 hingga 10.

Dalam menjawab pertanyaan “Apakah partai Anda berbasis Pancasila (skor 1) atau Islam (skor 10)?”, rata-rata skor PKB sebesar 4,68. Angka ini membuat PKB dekat dengan PAN. Rata-rata skor PAN dalam menjawab pertanyaan ini sebesar 4,67.

Dengan rata-rata skor itu, para anggota DPRD tingkat provinsi dari PKB mempersepsikan partainya tidak ke Pancasila, seperti PDIP yang rata-rata skornya 1,82; atau tidak ke Islam, seperti PPP yang rata-rata skornya 7,22.

Meski berposisi di tengah antara Pancasila dan Islam, PKB cenderung mendukung agar Islam memiliki peran yang lebih menonjol dalam politik. Para responden diminta menjawab “Apakah parpolnya menghendaki agar Islam punya peran politik lebih kecil (skor 1) atau lebih besar (skor 10)?” dan PKB memiliki rata-rata skor sebesar 7,21. Lagi-lagi, posisi PKB dekat dengan PAN yang rata-rata skornya 7,85.

Menariknya, para responden cenderung menganggap parpol mereka ingin Islam punya peran lebih besar dalam politik. Hanya PDIP (rata-rata skor 4,51) dan Nasdem (rata-rata skor 4,84) yang anggotanya cenderung ingin peran Islam lebih sedikit. Selebihnya, rata-rata skor parpol di atas 5. Rata-rata skor tertinggi dimiliki PPP (rata-rata skor 8,30), disusul PKS (rata-rata skor 8,15).

Infografik Mozaik Deklarasi PKB
Infografik Mozaik Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa. tirto.id/Sabit

Berjarak dengan Parpol Islam

Selain dalam menilai kecenderungan ke Pancasila/Islam atau mendudukkan peran Islam dalam negara, tidak ada perbedaan mencolok antara satu parpol dengan parpol lainnya.

Para anggota DPRD tingkat provinsi di PKB, begitu juga di parpol lain, cenderung mempersepsikan parpol mereka mendorong pembaruan, menghendaki emansipasi perempuan, memperjuangkan cita-cita reformasi, menyukai peran yang lebih besar untuk negara, dan memprioritaskan kesetaraan ekonomi.

Yang jelas, telaahan Aspinall dan kawan-kawan di atas menggambarkan sikap PKB tidak jauh berbeda dengan parpol Islam dalam hal memandang Pancasila/Islam atau peran politik Islam. Namun, kajian lain terhadap hasil survei LSI dan ANU yang ditulis Diego Fossati dan Eve Warburton dalam "Indonesia's Political Parties and Minorities" (2018, PDF) memberikan gambaran berbeda soal PKB.

Keduanya membandingkan persentase responden dari setiap parpol yang setuju atau sangat setuju mengenai pemimpin Muslim, dominasi orang Tionghoa dalam ranah politik dan ekonomi, serta kebangkitan komunisme di Indonesia.

Dalam menjawab pertanyaan “Apakah pemerintah mesti memprioritaskan Islam di atas agama lain?”, sebanyak 57 persen responden dari PKB menyatakan setuju atau sangat setuju. Ini membuat PKB tidak terlalu berbeda dengan tiga parpol Islam lainnya, yakni PAN (59 persen), PPP (58 persen), dan PKS (55 persen). Responden dari keempat parpol ini juga yang paling banyak menjawab setuju atau sangat setuju.

Namun, PKB cukup berjarak dengan parpol Islam lainnya soal posisi Islam ketika dikaitkan dengan Pemilu.

Dalam menjawab pertanyaan “Saat memilih dalam Pemilu, penting untuk memilih pemimpin Muslim?” sebanyak 63 persen responden dari PKB menyatakan setuju atau sangat setuju.

Meskipun persentase yang setuju atau sangat setuju untuk memilh pemimpin Muslim masih jadi mayoritas di PKB, tetapi angka ini jauh lebih kecil ketimbang parpol Islam lain: PPP (94 persen), PKS (90 persen), dan PAN (87 persen). Justru PKB lebih dekat ke Gerindra (67 persen) atau Demokrat (62 persen).

Tentu, pertanyaan tersebut tidak lepas dari Pilkada DKI Jakarta 2017 ketika Basuki Tjahaja Purnama, seorang yang beragama Kristen, maju sebagai kandidat gubernur. Semasa kampanye, banyak beredar ajakan untuk tidak memilih pemimpin non-Muslim. Pernyataan Ahok soal surat Al-Maidah ayat 51 pun dipelintir sehingga dia dibilang menistakan Islam.

Dalam menjawab “Penistaan terhadap Islam mesti dihukum lebih berat?” sebanyak 57 persen responden dari PKB menyatakan setuju atau sangat setuju. Lagi-lagi, ini membuat PKB jauh dari PPP (97 persen), PKS (83 persen), dan PAN (82 persen). Posisi itu pula yang membuat PKB lebih dekat ke Nasdem (58 persen) atau PDIP (44 persen).

Namun, persentase responden dari PKB yang menjawab setuju atau sangat setuju ketika ditanya “Apakah Anda nyaman dengan Tionghoa Indonesia menjadi pemimpin publik, seperti gubernur, walikota, camat, atau menteri?” kecil, hanya 35 persen; meski tidak sekecil PAN (18 persen) atau PPP (19 persen).

Di umurnya yang ke-23 dan menuju tahun politik 2024, PKB menghadapi ujian besar terkait pilihan ideologi dan langkah politiknya. Jika hendak mendiferensiasi diri dari partai-partai Islam lain, ia mesti mencari amunisi kampanye di luar isu moderatisme Islam dan pengakuan terhadap minoritas.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 23 Juli 2018. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait PKB atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Irfan Teguh Pribadi