Menuju konten utama

2% Pengguna Internet 12-17 Tahun Jadi Sasaran Pelecehan Daring

Peneliti UNICEF mengungkapkan dua persen pengguna internet berusia 12-17 tahun di Indonesia menjadi sasaran eksploitasi dan pelecehan seksual daring.

2% Pengguna Internet 12-17 Tahun Jadi Sasaran Pelecehan Daring
Ilustrasi Kekerasan Seksual. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Marie Nodzenski dari Kantor Penelitian Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) mengungkapkan dua persen pengguna internet berusia 12-17 tahun di Indonesia menjadi sasaran eksploitasi dan pelecehan seksual daring (online).

Hal itu berdasarkan Laporan Disrupting Harm di Indonesia oleh End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT), Organisasi Polisi Kriminal Internasional (INTERPOL), dan UNICEF di 13 negara. Ketigabelas negara itu meliputi Namibia, Uganda, Etiopia, Kenya, Tanzania, Mozambik, Afrika Selatan, Indonesia, Kamboja, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina.

“Berdasarkan survei nasional, kami temukan bahwa di tahun lalu saja dua persen pengguna internet berusia 12 sampai 17 tahun di Indonesia menjadi sasaran contoh jelas eksploitasi dan pelecehan seksual secara online,” tutur Marie dalam konferensi pers daring melalui kanal YouTube KemenPPPA RI, Kamis (29/9/2022).

Marie menerangkan definisi eksploitasi dan pelecehan seksual daring (online child sexual exploitation and abuse/OCSEA) sebagai situasi yang melibatkan teknologi digital, internet, dan komunikasi.

“Kami menyadari bahwa OCSEA dapat terjadi sepenuhnya oleh atau melalui campuran interaksi online dan tatap muka (luring) antara pelaku dan anak-anak,” kata Marie.

Menurut Marie, definisi OCSEA meliputi pemaksaan daring (grooming online) untuk tujuan seksual, produksi penyebarluasan, dan kepemilikan materi kekerasan seksual terhadap anak (child sexual abuse material/CSAM).

Marie membeberkan pengalaman OCSEA anak-anak di Indonesia berdasarkan survei rumah tangga dengan pengguna internet berusia 12-17 tahun. “Ini mencakup pemeras anak-anak untuk terlibat dalam aktivitas seksual, membagikan gambar seksual mereka tanpa izin, atau memaksa mereka untuk terlibat dalam aktivitas seksual dengan menjanjikan uang atau hadiah,” jelasnya.

Secara umum, Marie menyebut Indonesia memiliki beberapa proporsi terendah anak-anak yang menjadi sasaran OCSEA di negara-negara yang disurvei di Asia Tenggara. Akan tetapi, kemungkinan ada pelaporan yang kurang karena ketidaknyamanan mengungkapkan kasus pelecehan.

Berdasarkan data yang dilaporkan sendiri oleh anak-anak di Indonesia dalam satu tahun terakhir, terdapat satu persen anak-anak ditawari uang atau hadiah sebagai imbalan atas gambar atau video seksual. Dalam periode waktu yang sama, mereka ditawari uang atau hadiah secara daring untuk terlibat dalam tindakan seksual secara langsung.

“Ya, menunjukkan bahwa teknologi digital dapat menjadi fasilitator dari pelecehan secara langsung,” ucap dia.

Marie melanjutkan terdapat satu persen anak-anak diancam atau diperas secara daring untuk melakukan aktivitas seksual. Kemudian, satu persen lainnya gambar atau video seksual mereka dibagikan ke orang lain tanpa persetujuan.

Temuan lainnya terdapat kurang dari satu persen anak-anak dalam sampelnya mengatakan bahwa mereka telah menerima uang atau hadiah untuk ditukar dengan gambar atau video seksual.

“Ini masih dapat mewakili jumlah anak-anak yang sangat besar jika dibandingkan dengan populasi nasional dalam kelompok usia tersebut. Ini juga menunjukkan tren yang muncul secara global dari konten seksual yang dibuat sendiri oleh anak-anak muda yang didorong secara komersial,” terang dia.

Marie tidak melihat perbedaan gender atau usia yang mencolok pada anak-anak yang menjadi sasaran OCSEA. Hal ini menunjukkan semua anak membutuhkan perlindungan yang sama.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL ANAK atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Gilang Ramadhan