Menuju konten utama

11 Bulan OK Otrip dan Masalah yang Tak Kunjung Selesai

Hampir 1 tahun, OK Otrip atau Jak Lingko masih punya banyak masalah. Dari mulai sopir nakal hingga mesin tap yang kerap rusak.

11 Bulan OK Otrip dan Masalah yang Tak Kunjung Selesai
Penumpang menempelkan kartu Ok Otrip saat menaiki angkutan umum jurusan Kampung Melayu-Duren Sawit di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Senin (15/1/2018). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Jasmin (49), sopir OK Otrip jurusan Lebak Bulus–Pondok Labu, baru saja berhenti di tempat pencatatan kilometer di Lebak Bulus, ketika diperintah polisi kembali jalan, Selasa (13/11/2018) kemarin. Ini bukan hal biasa. Biasanya korps seragam cokelat tak ada di sana. Kalau pun berjaga, biasanya mereka tak peduli dengan apa yang dilakukan sopir.

“Sepertinya ada pejabat negara lewat, makanya sopir langsung disuruh jalan biar enggak menghalangi,” Jasmin mencoba menerka sendiri apa yang terjadi.

Angkot biru yang digunakan Jasmin bergabung ke OK Otrip sejak April lalu. Ia mulai bekerja satu bulan setelah itu. Sebelumnya ia adalah sopir angkot 14 jurusan Pondok Labu–Petukangan. Jasmin memutuskan pindah karena lama kelamaan penumpang jurusan tersebut semakin sedikit.

Layanan angkutan umum terintegrasi OK Otrip diresmikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 14 Desember 2017 atau hari ini, 11 bulan lalu. OK Otrip kemudian diubah menjadi Jak Lingko setelah delapan bulan berjalan. Meski begitu desain stiker pada kaca depan dan belakang mobil belum berubah.

Pada dasarnya, tak ada yang berbeda antara OK Otrip dan Jak Lingko kecuali nama. Namun soal ini belum banyak yang tahu. Buktinya, kata Jasmin, banyak penumpang yang bertanya perlukah mengganti kartu dengan yang baru.

“Saya enggak tahu pasti, tapi yang jelas sampai sekarang kartu lama bisa dipakai. Mungkin ke depannya juga bakal tetap bisa.”

Meski sudah diuji sebelas bulan, tapi mesin tap—yang digunakan mentransfer saldo pada kartu penumpang ke perusahaan angkutan—masih sering rusak. Awalnya saya bisa menempelkan kartu ke alat yang terletak di dasbor kiri mobil, tapi begitu alat di-restart jadi tidak bisa. Pada layar alat hanya tertulis proses koneksi tapi tak juga selesai.

“Sering seperti itu mesinnya, kadang bisa kadang juga enggak. Kalau lagi enggak bisa ya, warga enggak perlu tap.”

Ketika mesin rusak biasa operator akan memperbaikinya. Masalahnya jadwal si operator tak tentu kapan.

“Saya enggak ambil pusing, lah. Mau bisa atau enggak mesinnya, banyak atau tidak penumpangnya, tidak terlalu berpengaruh. Yang penting target kilometer per harinya terpenuhi.”

Jadi sopir OK Otrip memang cukup aman, kata Jasmin. Dia tak perlu memikirkan setoran per hari, juga tak perlu memikirkan uang bensin seperti sopir angkot pada umumnya. Semua itu sudah ditanggung pengelola dan dia dapat upah bulanan. Jasmin hanya perlu membawa angkot mengikuti rute.

“Kalau dulu kan tiap hari saya mesti rebutan penumpang sama sopir lain, supaya ada untuk setoran dan uang yang dibawa pulang. Kalau sekarang per bulannya amanlah.”

Pengalamannya sudah banyak meski baru lima bulan lebih jadi sopir OK Otrip. Ia kini tak perlu ngetem lagi, misalnya. Ini karena setiap penumpang akan menunggu di titik pengangkutan. Penumpang tidak boleh diangkut di sembarang tempat. Selain karena melanggar aturan, mengangkut penumpang sembarangan akan berujung adu mulut dengan sopir angkot biasa.

Pernah suatu ketika ia berhenti di depan sekolah yang ada plang OK Otrip-nya. Di depannya ada angkot putih yang juga hendak mengangkut penumpang. Anak sekolahan lebih memilih naik angkot Jasmin. Sopir angkot putih pun kesal dan meneriaki Jasmin maling.

“Saya bilang saja, 'maling apanya? Orang saya berhenti sesuai aturan yang dibuat.' Kalau saya berhenti di sembarang tempat baru bebas dikatain gitu.”

Sopir Nakal

Jasmin tak menampik jika masih ada sopir OK Otrip yang nakal. Mereka, misalnya, masih kerap meminta ongkos ke penumpang. Uangnya masuk kantong sendiri. Beberapa sopir juga kadang masih ngetem.

Sarinah (47), warga Petukangan, membenarkan perkataan Jasmin. Ia pernah menyaksikan langsung sopir OK Otrip yang meminta ongkos. Meski bukan dia yang diminta, Sarinah langsung bertanya ke sopir kenapa minta bayaran. Jawaban sopir karena penumpang tersebut tidak punya kartu.

“Saya bilang langsung, ‘kamu, kan, sudah digaji. Lagipula kalau penumpang enggak punya kartu, ya kamu tap pakai kartu kamu, lah. Kan, sekarang masih gratis pakai mobil ini, kecuali sudah berbayar,’” kata Sarinah.

Kata Sarinah, kebanyakan penumpang yang dimintai uang adalah warga yang belum tahu aturan OK Otrip. “sopirnya seperti memanfaatkan kesempatan.” Menurut Sarinah, tak hanya sopir yang perlu diberikan edukasi, tapi juga warga biasa. Warga perlu tahu tata cara penggunaannya.

Sejak ada OK Otrip, Sarinah selalu menggunakan angkot itu untuk pergi-pulang kerja. Menurutnya angkot ini membantu sekali warga dengan ekonomi rendah. Ia membeli kartu OK Otrip seharga Rp40 ribu dengan saldo Rp20 ribu. Dengan kartu tersebut ia bisa pulang pergi tanpa dikenakan biaya.

“Paling saldo saya berkurang karena naik bus Transjakarta atau kereta,” imbuhnnya.

Selain karena murah, ia memilih naik OK Otrip karena tidak ngetem. Sarinah cerita, dulu naik angkot biasa dari rumahnya ke tempat kerja di Pondok Labu bisa memakan waktu dua jam karena sopir sering ngetem. “Sekarang setengah jam juga sampai, kalau tidak macet.”

Tak Seperti yang Terlihat

Lain pendapat soal angkot disampaikan Jeri (50). Pria yang sehari-hari bekerja sebagai sopir angkot biasa jurusan Kebayoran–Ciputat ini bilang jadi sopir OK Otrip tidak seenak yang terlihat.

Jeri mempersoalkan waktu kerja. Sopir OK Otrip biasanya harus sering jalan, setelah sampai di ujung istirahat sebentar lalu jalan lagi. Menurutnya lebih enak jadi sopir biasa karena bisa menentukan jam kerja sendiri.

Jeri juga mengaku meski masih membayar setoran mobil tiap hari sebanyak Rp130 ribu ke pemilik angkot, ia tetap mampu mencapai target.

“Kalau sopir biasa gini gajinya bisa lebihlah dari mereka [sopir OK Otrip], asal tekun.”

Baca juga artikel terkait OK OTRIP atau tulisan lainnya dari Rizky Ramadhan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Rizky Ramadhan
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Rio Apinino