Menuju konten utama

10 Tahun (500) Days of Summer Menemani Tangisan Budak Cinta

Kamu #TeamTom atau #TeamSummer?

10 Tahun (500) Days of Summer Menemani Tangisan Budak Cinta
Cuplikan adegan film (500) Days Of Summer yang dibintangi Zoey Deschanel dan Joseph Gordon-Levitt . Youtube/Movieclips

tirto.id - “Sudah 3.652 hari sejak #500daysofsummer.”

Demikian caption di unggahan Instagram milik Zooey Deschanel pada 17 Juli 2019, yang menarik lebih dari 400 ribu likes dan hampir lima ribu komentar. Tepat bulan ini, film yang dibintangi Zooey, (500) Days of Summer, resmi berusia satu dekade.

Apa yang publik ingat tentang film ini?

Jawabannya bisa jadi hanya berkutat tentang bagaimana seseorang perempuan menghancurkan hati laki-laki hingga tak bersisa. Tentang bagaimana hari-hari seorang pria diselimuti awan mendung nan hitam pekat setelah putus cinta.

Tapi, (500) Days of Summer punya dimensi yang lebih luas dibanding dua asumsi itu. Karena pada dasarnya, mengutip pernyataan narator di pembuka film, (500) Days of Summer bukanlah cerita seputar cinta.

Anda Tim Summer atau Tom?

Sejak kecil, Tom Hansen (Joseph Gordon-Levitt) tumbuh dengan keyakinan bahwa cinta sejati datang dari pandangan pertama.

Tom tinggal di New York City, yang tercatat sebagai salah satu kota terbesar di dunia. Pekerjaannya adalah juru tulis sebuah perusahaan percetakan surat. Namun, sebenarnya, ia bercita-cita ingin menjadi arsitek, di mana ia bisa bebas membangun gedung pencakar langit sesuai imajinasinya.

Sama seperti pemuda yang bertahan di belantara modernisme kota besar pada umumnya, Tom juga mengharapkan kehadiran pasangan hidup. Ia mencari dan terus mencari sampai akhirnya tatapan matanya berhenti pada sosok Summer Finn (Zooey Deschanel).

Tom langsung membaptis Summer sebagai cinta sejatinya. Perasaannya tak bisa ditahan. Summer harus ia dapatkan. Titik.

Summer tak menutup fakta bahwa ia juga punya ketertarikan terhadap Tom. Dari pertemuan di dalam lift, ketika balada “There Is A Light That Never Goes Out” garapan The Smiths terdengar samar-samar melalui headphone Tom, perasaan tersebut mulai bersemi.

“Aku suka The Smiths” kata Summer sembari tersenyum.

Tali asmara antara keduanya perlahan terjalin sejak itu. Mereka kerap kencan, bertukar pikiran tentang apa pun, sampai akhirnya memutuskan punya hubungan istimewa. Kendati begitu, lema “istimewa” di sini tak serta merta dapat diartikan sebagai ikatan seperti pacaran. Summer, dalam sebuah perbincangan ringan di IKEA dengan Tom, menegaskan bahwa ia tak ingin relasi mereka ditanggapi kelewat serius.

Summer rupanya perempuan berjiwa bebas. Ia tak ingin terikat apa pun. Ia tak percaya akan cinta—meski pada akhirnya tetap percaya. Ia hanya ingin hidup dengan mencintai dirinya sendiri.

“Tak ada yang namanya cinta, itu cuma fantasi,” Summer mencoba meyakinkan Tom di awal-awal pertemuan mereka.

Perbedaan pandangan itu mulanya tak menimbulkan riak dalam relasi keduanya. Baik Summer maupun Tom masih bisa saling mencintai—dan bergerak di koridornya masing-masing.

Akan tetapi, riak itu tetap muncul dan menjelma jadi ombak besar seiring waktu. Perpisahan tak terelakkan. Summer berhasil move on dan menikah dengan orang lain. Sementara Tom ... Butuh waktu lama untuk menyadari bahwa perkara cinta tak bisa dipaksa.

Ada semacam anekdot yang menyebut (500) Days of Summer merupakan film bergenre thriller atau horor. Pangkalnya: perlakuan Summer terhadap Tom yang dianggap kelewat kejam. Summer dinilai telah mengombang-ambingkan nasib Tom. Dengan kata lain, dalam istilah anak zaman sekarang, Tom adalah "bucin" alias budak cinta. Pertanyaannya, tepatkah menjadikan Summer sebagai tokoh jahat?

Inilah yang kemudian menjadi perdebatan tak berujung. Banyak dari penonton yang mengambinghitamkan Summer atas penderitaan Tom. Summer tega menyudahi asmaranya dengan Tom. Summer tak memiliki belas kasih. Kebencian mereka makin tak mampu diredam manakala Summer justru mengarungi bahtera rumah tangga bersama laki-laki lain.

Namun, yang mesti digarisbawahi, keputusan Summer tidak muncul secara tiba-tiba. Ia bahkan sudah menegaskan sejak awal bahwa ia tak ingin hubungannya dengan Tom disalahartikan sebagai hubungan yang penuh komitmen. Ia hanya ingin menikmati kebersamaan dengan Tom tanpa tekanan, intervensi, dan paksaan untuk melangkah ke jenjang yang lebih jauh.

Sayang, pertanda ini tak ditangkap Tom dengan baik. Tom berambisi menjadikan relasinya dengan Summer sebagai sebuah relasi yang punya masa depan: menikah, berkeluarga, punya anak, dan bersama-sama memikul dunia sampai usia tua. Ambisi tersebut menutup mata Tom atas dua fakta: Summer perempuan yang berjiwa bebas dan relasi mereka tak sekadar relasi yang 'ringan'.

Tentu Tom berhak patah hati karena ekspektasinya tidak terpenuhi. Tapi, ia tak perlu menyalahkan Summer atas apa yang menimpanya. Campur tangan Summer hanya secuil. Sisanya, ia terbunuh sebab ekspektasinya sendiri.

Infografik Misbar 500 Days of Summer

Infografik Misbar 500 Days of Summer. tirto.id/NADIA

Mempopulerkan Dunia Arus Pinggir

Yang menarik lagi dari (500) Days Summer, selain faktor storytelling yang acak dan twist di akhir film, adalah kemampuannya untuk mengenalkan semesta budaya arus pinggir ke publik. Sepanjang film, Anda akan disuguhi banyak representasi dari dunia ‘indie' (Anda juga boleh bilang 'hipster') yang ditampilkan lewat hal-hal yang disukai oleh kedua karakter.

Summer, misalnya, menjadikan lirik berbunyi, “Color my life with the chaos of trouble,” yang diambil dari lagu “The Boy With the Arab Strap” garapan band asal Skotlandia, Belle and Sebastian, sebagai kutipan di buku kenangan SMA. Tom juga setali tiga uang. Ia mendengarkan The Smiths hingga Joy Division, dua entitas indie rock Inggris era 1980-an.

Adegan di toko musik merekam dengan baik betapa hipster-nya selera mereka berdua. Keduanya berdebat tentang siapa anggota The Beatles yang paling disukai. Tak dinyana, alih-alih menjawab McCartney, Lennon, atau Harrison, Summer justru menyebut si penggebuk drum, Ringo Starr.

“Enggak ada yang suka Ringo Starr.”

“Justru itu yang aku suka dari dia.”

Memasukkan banyak elemen dari dunia hipster ke sebuah film yang didistribusikan perusahaan besar (Fox Searchlight Pictures merupakan anak perusahaan dari jaringan raksasa Fox Entertainment) adalah keputusan berani. Marc Webb, selaku sutradara, sepertinya sadar bahwa cerita unik yang terjadi antara Summer dan Tom mesti didukung dengan sumber daya yang unik pula, yakni musik-musik yang jarang didengar orang.

Keputusan tersebut kemudian disambut dengan gegap gempita oleh sebagian besar penonton. Lewat (500) Days of Summer, nama The Smiths, Spoon, Joy Division, hingga Belle and Sebastian seperti kembali menemukan popularitasnya. Orang-orang yang kemudian dilabeli “hipster” tapi emoh dibilang "hipster" lantas berbondong-bondong mendengarkannya. Karena buat mereka tak ada yang lebih keren selain merayakan patah hati dengan lagu indie.

Baca juga artikel terkait CINTA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf