Menuju konten utama

10 Masalah Ekonomi yang Wajib Dibahas di Debat ke-5 versi INDEF

INDEF mencatat terdapat 10 persoalan ekonomi yang mesti dibahas oleh Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga di Debat Pilpres 2019 Ke-5. 

10 Masalah Ekonomi yang Wajib Dibahas di Debat ke-5 versi INDEF
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kedua kanan) bersama Ketua KPU Arief Budiman (kedua kiri) sebelum mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu (30/3/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - Debat Pilpres 2019 Ke-5 akan digelar pada Sabtu (13/4/2019). Debat capres-cawapres terakhir ini akan membahas tema ekonomi, keuangan, investasi, perdagangan, industri dan kesejahteraan sosial.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencatat ada 10 persoalan terkait ekonomi yang seharusnya dibahas oleh kedua paslon di debat pilpres ke-5.

Menurut Ekonom Senior Indef, M. Nawir Messi, persoalan ekonomi pertama yang mesti dibahas di debat ke-5 adalah pertumbuhan ekonomi yang stagnan.

"Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua dasawarsa ini sebesar 5,27 persen (yoy). Realisasi laju pertumbuhan ekonomi selama era reformasi ini belum mampu menyamai capaian era Orde Baru," kata Nawir.

Dia menyatakan hal itu dalam diskusi Tantangan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, di Gedung Naffaro ITS, Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (11/4/2019).

Nawir menjelaskan, jika pertumbuhan ekonomi rata-rata lima persen, yang sudah terjadi dalam 6 tahun belakangan, tidak segera diakselerasi maka Indonesia sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).

Sementara persoalan kedua, kata Nawir, adalah daya beli yang belum meningkat ketika inflasi cenderung rendah. Akibatnya, meski inflasi terkontrol, pertumbuhan konsumsi justru stagnan.

Untuk persoalan yang ketiga, Nawir menambahkan, adalah daya saing nasional. Lalu, masalah keempat ialah impor.

"Impor menjadi suatu yang pasti, menghentikannya adalah sesuatu yang utopis," jelas dia.

Adapun persoalan kelima, Nawir melanjutkan, adalah deindustrialisasi. Meski hal itu terjadi secara global, dia menilai deindustrialisasi di Indonesia terjadi lebih cepat daripada negara-negara ASEAN lainnya.

"Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia mengalami penurunan porsi manufaktur terhadap PDB sebesar 7 persen, yang mana negara sebaya di ASEAN [Thailand dan Malaysia] tidak lebih dari 4 persen," ujar Nawir.

Sedangkan masalah keenam, kata dia, yaitu problem di infrastruktur logistik yang membuat sektor perdagangan sulit berkembang. Nawir mengatakan frekuensi perdagangan di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara-negara sebaya di ASEAN.

"Indonesia hanya memiliki rasio nilai perdagangan terhadap PDB sebesar 39,54 persen, sementara negara ASEAN seperti Malaysia memiliki 135,9 persen dan Thailand sebesar 121,66 persen," jelas dia.

Adapun persoalan ketujuh ialah revolusi industri 4.0. Nawir berpendapat revolusi industri 4.0 masih sekedar menjadi euforia dan gimmick politik.

Selain itu, persoalan kedepalan: rendahnya kinerja perpajakan saat terjadi peningkatan risiko utang pemerintah.

"Tax Ratio Indonesia mengalami tren penurunan selama periode 2012-2017, lalu pada tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 11,5 persen. Namun, pencapaian tax ratio tersebut masih jauh dari target tax ratio dalam RPJMN 2015-2019 sebesar 15,2 persen pada tahun 2018," ujar dia.

Sementara persoalan yang ke-9, menurut Nawir ialah problematika dana desa. Dia menjelaskan, kenaikan anggaran dana desa belum berbanding lurus dengan peningkatan indikator sosial di perdesaan.

"Jaji menaikkan Dana Desa jangan sampai menjadi alat politik, karena faktanya masih banyak persoalan pemanfaatan Dana Desa, termasuk kasus korupsi Dana Desa," ujar Nawir.

"Buktinya, ICW mencatat ada 96 kasus korupsi anggaran desa pada tahun 2018 dengan total kerugian negara sebesar Rp37,2 miliar," tambah dia.

Persoalan terakhir, atau ke-10, yang harus dibahas dalam debat ke-5 ialah inkonsistensi kebijakan subsidi energi.

"Pada 2015, subsidi energi dipangkas hingga 65,16 persen. Penurunan subsidi energi terus berlanjut pada 2016 (10,33 persen) dan tahun 2017 (-8,61 persen). Namun, pada 2018, subsidi energi kembali melonjak hingga 57 persen, dan tahun 2019 (4,23 persen)," jelas dia.

Baca juga artikel terkait DEBAT PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Politik
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Addi M Idhom