Menuju konten utama

Tebing Breksi, Bekas Tambang yang Kini Menawan

Tebing Breksi yang dulu ditambang kini dijadikan objek wisata. Perubahan pengelolaan ini juga berdampak besar pada perilaku masyarakat sekitar.

Tebing Breksi, Bekas Tambang yang Kini Menawan
Tebing Breksi yang terletak di Dusun Groyokan, Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabutapen Sleman, DIY. [Tirto/Erman]

tirto.id - Pria itu bernama Mujimin. Dengan mengendarai sebuah motor matik, ia mengantar tirto.id melihat persiapan panggung konser di depan Tebing Breksi, Kamis (8/9/2016). Panggung konser itu, merupakan bagian dari pelaksanaan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), sebuah perhelatan seni dan budaya yang rutin digelar setiap tahun oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

“Spot panggung terbuka itu sekarang jadi panggung masa depan FKY,” kata Mujimin Sekretaris Desa Sambirejo sekaligus Kepala Pokdarwis Tlatar Seneng, di Desa Sambirejo, pekan lalu.

Malam itu, di Tebing Breksi akan tampil Singgih Sanjaya Orchestra bersama Saron Groove, Ayu Permata Dance Company, Kinanti Sekar, dan Chakil Squad Art Community.

Sesampai di lokasi parkir, terlihat beberapa pengunjung duduk di kursi penonton. Beberapa di antaranya terlihat berada di puncak Tebing Breksi, dan sebagian lagi ada di area stan kuliner.

Panggung tertata rapi, ada musisi sedang cek sound di sana. Meski tak sebesar panggung teater Dionysos di Yunani, suasana di panggung terbuka itu cukup unik. Ada deretan kursi melingkar menghadap ke lapangan terbuka. Panggung konser menggunakan latar belakang langit terbuka, dan saat malam akan nampak lampu. Tempat yang asyik untuk nonton konser orkestra.

Jauh sebelum menjadi tempat konser nan menawan, tebing ini dulu adalah hamparan batu putih yang ditambang oleh masyarakat. Penambangan terjadi sejak tahun 1980-an. Hasil tambang digunakan untuk fondasi rumah, dinding rumah, sumur, dan lain-lain.

Dari Penambangan ke Wisata

Perubahan itu diawali ketika tim konservasi yang terdiri dari pemerintah daerah Yogyakarta dan ilmuwan serta peneliti dari UPN “Veteran” Yogyakarta mempublikasikan penemuan yang menyatakan Tebing Breksi merupakan endapan abu vulkanik letusan gunung api purba yang sekarang dikenal sebagai gunung api purba Nglanggeran di Gunung Kidul.

Oleh karenanya, tebing itu pun dimasukkan ke dalam salah satu situs geoheritage, yang artinya merupakan situs atau area geologi yang memiliki nilai-nilai penting di bidang keilmuan, pendidikan, budaya, dan nilai estetika. Akhirnya pada akhir bulan Mei 2015 Tebing Breksi diresmikan sebagai objek wisata.

Dalam laporan penelitian berjudul Geoheritage Yogya, Geowarisan Babad Bumi Mataram...Menyingkap Riwayat Geologi, Babad Tanah Jawi (2014) dijelaskan, masa kejayaan Gunung Api Purba berlangsung selama Oligosen Miosen Tengah (16-36 juta tahun lalu). Pulau Jawa yang tadinya merupakan penyatuan antara lempeng paparan Sunda dan lempeng kecil (mikrokontinen) Jawa Timur 'ditabrak' dari selatan oleh lempeng Indo-Australia yang beringsut ke utara dan menunjam di zona palung di selatan Pulau Jawa yang berarah Barat-Timur.

Kejadian inilah yang merupakan peristiwa utama sejarah pembentukan Pulau Jawa, yaitu proses pembentukan gunung api-gunung api yang tersebar di bagian selatan Pulau Jawa yang kemudian menjadi tulang punggung Pulau Jawa.

Fenomena lava berstruktur bantal menunjukkan bahwa lahirnya gunung api diawali pada lingkungan bawah air (laut). Aktivitas gunung api dahsyat dibuktikan dengan ditemukannya banyak sekali singkapan batu-batuan piroklastik (hasil erupsi gunungapi) dan batu pasir vulkanik yang sangat tebal.

Situs-situs itu kemudian disebut sebagai geotapak, artinya suatu situs atau singkapan batuan yang memiliki nilai geologi yang penting serta mudah dijangkau. Di Yogyakarta, ada sembilan geotapak yang sudah terindentifikasi, salah satunya tebing Breksi tersebut.

Penemuan tersebut, kemudian dikukuhkan oleh Kementerian ESDM melalui Surat Keputusan (SK) Penetapan 9 Kawasan Konservasi Geoheritage di DIY. SK diserahkan langsung oleh Kepala Badan Geologi Pusat Dr.Surono kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Penetapan warisan Geologi/Geoheritage diperoleh dari hasil penelitian (naskah Akademis) UPN Yogyakarta dan Tim Geologi Kementerian ESDM di Jakarta yang kemudian ditindaklanjuti dengan inventarisasi oleh Pemda DIY c.q Biro Administrasi Pembangunan Pemda DIY bersama UNPN Yogyakarta tahun 2013.

Setahun kemudian, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Hamengkubuwono X mengimbau agar lokasi dilestarikan.

“Riwayat fenomena alam masa lampau tersebut tersimpan secara utuh, di Daerah Istimewa Yogyakarta dan menjadi Geoheritage serta sumber ilmu pengetahuan kebumian. Sehingga sudah selayaknya untuk dapat dijaga dan dilestarikan sebagai pengetahuan serta pemahaman masyarakat sebagai warisan untuk generasi mendatang,” ucap Sri Sultan Hamengkubuwono X pada pengatar di laporan itu.

Dampak ke Masyarakat

Setelah penemuan situs geotapak Breksi ditetapkan oleh Kementerian ESDM, keluarlah Surat Keputusan (SK) Kepala Desa nomor 1 tahun 2015 yang intinya menghentikan kegiatan penambangan di zona merah Tebing Breksi, yang saat ini berukuran 40 meter x 100 meter itu.

Setelah SK dikeluarkan, respons masyarakat pada awalnya kurang baik. “Masyarakat galau,” kata Mujimin.

Menurut Mujimin masyarakat setempat galau karena mata pencaharian yang ditekuni dari tahun 1980-an itu kemudian hilang. Tentu saja perubahan drastis itu membuat masyarakat kaget. Mereka tak tahu apa yang akan terjadi dengan mata pencaharian mereka setelah keputusan itu diteken.

Meskipun ragu, warga tetap bersedia ikut berjuang mengubah lokasi yang dulu merupakan area tambang menjadi tempat yang representatif sebagai destinasi wisata. Muncul program pertama pengelola yaitu membangun panggung terbuka dan membuatkan tangga menuju puncak tebing.

“Kami sepakat untuk mengubahnya menjadi lokasi wisata,” ujar Mujimin.

Keraguan itu terjawab tak lama kemudian. Perlahan tapi pasti, berkat adanya media sosial, pengunjung mulai berdatangan. Pada hari Senin sampai Jumat pengunjung bisa mencapai 500 orang. Jumlah pengunjungnya bisa melonjak hingga 1.500-an orang pada Sabtu-Minggu sejak Januari 2016.

“Dalam satu tahun masyarakat sudah bisa menyadari, ada banyak peningkatan, penambang juga tetap bisa menambang di luar zona merah dan punya penghasilan, selain itu keluarga penambang juga bisa terlibat di kuliner, karang taruna desa sekarang jadi pengelola,” jelas Mujimin.

Selain dari sisi ekonomi naik, perubahan pengelolaan Tebing Breksi dari penambangan menjadi destinasi wisata ini juga membuat sektor budaya dan kuliner setempat mendapat tempat untuk ditampilkan sehingga memperoleh respons masyarakat secara lebih luas.

Di stan kuliner, sudah nampak penjual keripik sayur, minuman segar, makanan lokal seperti emping garut dan lain sebagainya. Mujimin menjelaskan, stan kuliner itu masih dalam perkembangan pembangunan. “Kami ajukan setengah miliar untuk pembangunan,” ujarnya.

Dari dana sebesar itu, kata Mujimin, akan dialokasikan untuk menyempurnakan stan kuliner, sarana prasarana kecil seperti kamar kecil dan tempat ibadah, dan membuat taman tanaman buah seluas 2500 meter.

Ke depan, rencananya akan ada spot untuk bumi perkemahan, pengembangan lokasi untuk off road, menambah fasilitas outbound di depan panggung terbuka dan lain sebagainya. Untuk sementara, sambil menunggu dana dari pemerintah DIY cair, pengelola mengembangkan fasilitas di lokasi menggunakan dana dari hasil retribusi parkir. “Dalam sehari pendapatan tak lepas dari Rp1 juta,” kata Mujimin.

Dengan melihat kenyataan itu, orang-orang yang dulu menambang menyadari ada potensi peningkatan pendapatan ekonomi dari sektor wisata. Mujimin mengatakan sebagian masyarakat bahkan sudah menyadari bahwa halaman rumahnya merupakan spot yang memiliki pemandangan indah, sehingga bisa dijual dengan harga mahal.

“Terutama yang di jalan utama menuju Breksi, per meter dulu Rp50 ribu, sekarang Rp1,5 juta,” kata Mujimin.

Selain berani mematok harga tanah dengan tinggi, masyarakat mulai mempersiapkan diri untuk membuat souvenir-souvenir khas Breksi.

“Sudah ada yang mau membuat batik Breksi,” katanya lagi.

Kesadaran-kesadaran dalam bentuk lain juga bermunculan, seperti meningkatkan kualitas Batik Jumputan yang sudah menjadi khas Desa Sambirejo, merancang asbak dari batu Breksi, membuat patung sebagai souvenir dan lain sebagainya. Di lokasi, pada dinding tebing, pengelola bahkan sudah memahat sosok Wayang Arjuna dan Buto Cakil sebagai ikon Tebing Breksi.

“Tampil beda akan menjadi kenangan tersendiri,” ungkapnya.

Rencana-rencana “tampil beda” itu sudah pasti membutuhkan bantuan dari pihak ketiga. Namun, Mujimin menegaskan pihaknya akan berpikir ulang untuk menerima investor asing.

“Sudah banyak yang ingin terlibat,” terang Mujimin.

Ia membenarkan bahwa secara personal ada warga yang didekati oleh orang luar Yogya yang ingin membangun di dekat Tebing Breksi. Namun, Mujimin mengatakan pemerintah desa tidak ingin orang luar desa yang mengembangkan desa. Pemerintah desa ingin mengangkat potensi lokal dengan tenaga lokal. “Jangan sampai kita yang punya tapi mbayar untuk masuk lokasi,” ujar Mujimin.

Ketertarikan investor tentu bisa dipahami mengingat dalam rencana besar, ada upaya untuk membawa Tebing Breksi sebagai wisata internasional. Bersama dengan pemerintah provinsi (Pemprov) dan Dinas Pariwisata DIY, pemerintah Desa Sambirejo sudah mulai melakukan langkah-langkah promosi, seperti menyelenggarakan kegiatan-kegiatan nasional dan internasional sembari menunggu payung hukum Tebing Breksi sebagai destinasi wisata diterbitkan.

Ia menganggap dengan penetapan Tebing Breksi sebagai endapan abu vulkanik gunung api purba, sudah bisa menjadi branding utama untuk mempromosikan Tebing Breksi ke dunia internasional. “Mudah-mudahan itu bisa dijadikan sejarah dunia,” ujar Mujimin.

Baca juga artikel terkait TEBING BREKSI atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Agung DH