Menuju konten utama

Setahun Revisi UU KPK, Pemberantasan Korupsi Tinggal Retorika

Usia UU KPK yang baru sudah satu tahun. Sepanjang itu apa yang dikhawatirkan terwujud: pemberantasan korupsi tak lagi garang, pencegahan pun minimal.

Setahun Revisi UU KPK, Pemberantasan Korupsi Tinggal Retorika
Ketua KPK Firli Bahuri (tengah) menyampaikan keterangan pers tentang penahanan mantan direksi PT Dirgantara Indonesia (Persero) (PTDI) di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (12/6/2020). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.

tirto.id - Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berusia satu tahun pada 17 Oktober lalu. Ketika itu proses revisi ditentang publik karena dikhawatirkan dapat memperlemah pemberantasan korupsi.

Kini, kata peneliti dari Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola kepada reporter Tirto, Senin (19/10/2020), “seluruh ketakutan publik jadi kenyataan.”

Merujuk data Indonesia Corruption Watch (ICW) dan TII, KPK di bawah komando Firli Bahuri hanya mampu melakukan operasi tangkap tangan sebanyak dua kali dalam enam bulan, yaitu terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Angka ini menurun dibanding periode yang sama tahun-tahun sebelumnya: OTT sebanyak 8 kali pada 2016, 5 kali pada 2017, 13 kali pada 2018, dan 7 kali pada 2019.

Dalam webinar Nasional Pilkada Berintegritas 2020, Selasa (20/10/2020) lalu, Firli menyinggung perubahan orientasi KPK dari yang awalnya penindakan ke pencegahan. “Pencegahan ditempatkan di pertama, KPK melakukan pencegahan supaya tidak terjadi korupsi,” katanya. Itu dia mengapa angka OTT jauh menurun.

Masalahnya, penurunan jumlah OTT ini berbarengan dengan belum maksimalnya Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) yang sebetulnya merupakan program unggulan Firli. Alvin menilai pencegahan korupsi di tingkat daerah mengendur. “UU KPK baru justru memperkuat kultur impunitas,” ujarnya.

Ketika pemberantasan korupsi menurun dan pencegahan belum maksimal, KPK justru mengalami berbagai masalah internal: dari mulai pemulangan penyidik Rossa Purbo Bakti ke institusi asalnya, Polri; sampai mundurnya 31 pegawai dalam rentang waktu Januari-September, termasuk Ka Biro Humas Febri Diansyah (pada 2 Oktober 2020, sumber Tirto mengatakan staf Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi Putri Rahayu dan staf Biro Hukum Indra Mantong juga mengundurkan diri).

Bahkan Firli sendiri divonis melanggar kode etik karena hidup mewah dengan menyewa helikopter JT-PKO untuk keperluan pribadi.

Masalah-masalah ini, menurut Alvin, akan membuat Indonesia dikucilkan di komunitas internasional dan sulit menuai skor terbaik dalam indeks persepsi korupsi lantaran “melanggar janjinya sendiri untuk memastikan KPK yang kuat” sebagaimana dimandatkan Pasal 6 dan 36 UNCAC dan The Jakarta Principles.

Ia pun mendesak Presiden Joko Widodo untuk turun langsung membenahi penindakan korupsi melalui tangan KPK. Jika tidak, hal tersebut akan menjadi cela di periode pemerintahannya. “Belum ada kata terlambat bagi Presiden untuk memastikan KPK kembali independen dengan mengeluarkan Perppu KPK.”

Eks Komisioner KPK Muhammad Jasin berpendapat perizinan yang rumit menjadi faktor menurunnya kualitas pemberantasan korupsi di KPK. Misalnya dalam praktik penyadapan yang perlu menunggu 1x24 jam dari Dewas KPK. Ia mengatakan, “jangankan 24 jam, 10 menit saja berpengaruh” terhadap perburuan.

Ia juga mengatakan setelah UU baru berlaku KPK tidak pernah menciduk koruptor kelas kakap. Hal tersebut memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat kepada mereka. Cyrus Network menyatakan hanya 57 persen responden yang menilai KPK masih bertaji; Indikator Publik menyatakan hanya 24,7 persen masyarakat percaya pada kerja-kerja KPK; sementara Charta Politika Indonesia menyatakan kepercayaan publik terhadap KPK hanya 71,8 persen, bahkan lebih tinggi Polri yang memperoleh skor 72,2 persen.

“Yang ditangani skalanya kecil, di bawah. Paling tinggi tingkat bupati dan wali kota. Tidak seperti periode I sampai IV,” ujarnya.

Cacat Formil

Eks Komisioner KPK Laode M Syarif berharap UU KPK baru dapat dibatalkan dengan uji formil di Mahkamah Konstitusi. Syarif bersama eks komisioner lainnya, Agus Rahardjo dan Saut situmorang, mengajukan permohonan ini pada 20 November 2019.

Menurut Laode, peraturan ini cacat formil atau keliru dalam penyusunannya karena KPK tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan substansi yang cenderung kilat--dibahas pada 5 September 2019 dan disahkan 17 September 2019. Ketika itu mereka sudah mengirimkan surat kepada Jokowi agar diberikan kesempatan untuk menjelaskan sikap. “Tapi sampai diputuskannya UU KPK baru tak ada kesempatan,” ujarnya dalam diskusi bersama ICW, Sabtu (17/10/2020).

Ia, Agus, beserta Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dan Kabag Perancangan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang sempat menagih draf revisi kepada Menkumham Yasonna Laoly. Namun upaya mereka nihil hasil. Mereka juga meminta draf dan Daftar Inventaris Masalah (DIM) ke Badan Legislasi DPR. Hasilnya sama, nihil.

Kecacatan lain adalah dalam sidang paripurna pengesahan revisi UU KPK, anggota DPR yang hadir tidak sampai 2/3.

Sidang uji formil UU KPK kini tinggal menunggu putusan MK, setelah para pemohon menyerahkan kesimpulan. Beberapa saksi yang telah memberikan kesaksian antara lain penyidik Novel Baswedan, Wakil ketua KPK Alexander Marwata, dan Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Panggabean.

“Sangat berharap para hakim mahkamah yang mulia mendengarkan kata hati, mendahulukan keadilan, demi negeri demi kemanusiaan,” katanya.

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino