Menuju konten utama

Negara Melirik SWF sebab BUMN Susah Cari Utang demi Infrastruktur

SWF digadang-gadang dapat menjadi solusi bagi pembangunan infrastruktur yang terancam mandek. Tapi, apa benar demikian? Adakah potensi masalah?

Negara Melirik SWF sebab BUMN Susah Cari Utang demi Infrastruktur
Pekerja menyelesaikan pengerjaan konstruksi tiang pancang untuk jalur kereta pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung di Derwati, Bandung, Jawa Barat, Selasa (3/11/2020). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/hp.

tirto.id - Utang sederet perusahaan pelat merah mulai terlampau tinggi. Imbasnya, mereka mengalami kesulitan mencari utang baru dan akan lebih sulit diandalkan dalam merealisasikan ambisi pemerintah: menggenjot proyek infrastruktur.

“Kami tahu banyak BUMN yang sudah mulai terkendala dalam mencari pembiayaan yang bersifat utang,” aku Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata dalam Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja Sektor Keuangan dan Investasi, Rabu (3/12/2020).

Isa mengatakan tren negatif ini terlihat dari pemburukan rasio Debt to Equity Ratio (DER). DER idealnya di bawah 1 untuk menunjukkan jumlah utang lebih kecil dari modal bersih. Kenyataannya DER beberapa BUMN terus naik di atas 1 kali lipat, bahkan sebagian telah melampaui batas aman Kemenkeu, yaitu 3 kali lipat.

Misalnya ADHI Karya, dari 4,34 kali (2019) menjadi 5,76 kali (Q2 2020); dan Waskita dari 3,21 kali (2019) menjadi 3,42 kali (Q2 2020). BUMN konstruksi lain juga mengalami hal serupa. PT Krakatau Steel bahkan memiliki DER di angka 6,06 (Q2 2020), naik dari posisi 0,89 (2019).

Tren kenaikan ini terjadi selama lima tahun terakhir, periode ketika infrastruktur memang sedang digenjot kuat-kuat.

Kendala ini jadi kerikil untuk mewujudkan ambisi Indonesia menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia, kata Isa. Di sisi lain, pemerintah juga tak bisa melulu menambah utang lantaran tren utang terhadap PDB terus meningkat: dari 28,34% (2016) menjadi 30,2% (2019) dan 36,4% (Oktober 2020).

Ia juga mengakui kalau Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia relatif stagnan. Tahun 2017 ke 2019 saja menurun 4 persen, dari Rp431 triliun ke Rp423 triliun.

Dalam konteks inilah muncul solusi bernama Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang lahir melalui UU Cipta Kerja. Kemenkeu menilai lembaga ini bisa menjadi mitra investor dalam membangun infrastruktur seperti tol, bandara, pelabuhan, sampai metropolitan baru Ibu Kota Negara (IKN).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan Presiden Joko Widodo menyetujui skema ini. Dalam kuliah umum virtual FEB UI, Rabu (25/11/2020), ia bilang, “APBN untuk pendanaan masalah kemiskinan. SWF untuk masalah infrastruktur, pertanian, dan sebagainya.”

Tapi ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira ragu dengan klaim bahwa solusi atas masalah ini adalah SWF. Menurut Bhima, alih-alih mencari pendanaan baru, sebetulnya proyek infrastruktur perlu dibenahi dan dievaluasi serius karena selama ini kerap salah sasaran dan tidak berdampak signifikan pada ekonomi. Beberapa riset membenarkan ini.

Tahun 2018, Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) pernah mengeluarkan kajian yang menyebut jika pembangunan infrastruktur selesai, dampaknya hanya mampu memangkas biaya logistik dari 23,5 persen PDB ke 21 persen PDB alias kurang signifikan. Angka itu masih lebih tinggi dari Malaysia di 13 persen PDB.

Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) juga menunjukkan Indonesia dihantui suplai berlebih listrik hingga 13.000 MW. Sebab, asumsi proyek 35 ribu MW menargetkan konsumsi listrik bisa tumbuh 6,6 persen per tahun mengikuti pertumbuhan ekonomi, sementara kenyataannya pertumbuhan rata-rata konsumsi listrik hanya 4,6 persen mengikuti pertumbuhan ekonomi yang mentok di kisaran 5 persen.

Contoh lainnya terkait pembangunan bandara yang berujung sepi penumpang. Ini terjadi di Kertajati, Jawa Barat lantaran kurangnya akses transportasi memadai. Yogyakarta International Airport (YIA) juga dikhawatirkan bernasib sama.

“Infrastruktur dibangun tapi manfaat tidak dirasakan banyak orang, sementara utang BUMN nambah terus,” ucap Bhima kepada reporter Tirto, Kamis (3/12/2020).

Bhima juga mengingatkan beberapa risiko SWF. Dia bilang modal SWF berasal dari dana dan aset pemerintah baik Barang Milik Negara (BMN) maupun milik BUMN. Itu artinya, sisa pendanaan harus dicari lagi agar dapat mengerjakan sejumlah proyek dan mendapatkan keuntungan.

Lalu, meski dimulai dengan modal terbatas, SWF harus mampu menggaet investasi langsung atau FDI. Jika tidak, Bhima khawatir SWF malah menjadi alternatif lain memperoleh pinjaman/utang sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) LPI.

Jangan sampai SWF meneruskan kebiasaan buruk, yaitu memberi penugasan ke BUMN untuk membangun proyek tetapi dananya harus dicari sendiri melalui utang, katanya.

Bhima juga mengingatkan tiap proyek yang dikerjakan tidak lagi bisa sembarang apalagi bernuansa penugasan. Sebab, kali ini pemerintah mengikutsertakan dana lembaga keuangan dunia yang notabene mempertaruhkan kepercayaan investor. Belum lagi, sebagian modal SWF adalah barang milik negara (BMN) yang nasibnya dipertaruhkan bila investasi SWF berujung macet.

“Harus memperhatikan tingkat risiko. menghitung return on investment, perhitungan kapan kembali modal,” ucap Bhima.

Baca juga artikel terkait LEMBAGA PENGELOLA INVESTASI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino