Menuju konten utama

Merunut Kasus Pengendara Moge Tabrak Dua Anak hingga Meninggal

Kasus pengendara moge yang menabrak anak kembar memperlihatkan kondisi memprihatinkan dari segi perlindungan pengguna jalan, khususnya pejalan kaki.

Merunut Kasus Pengendara Moge Tabrak Dua Anak hingga Meninggal
Seorang wartawan melihat barang bukti dua motor gede (moge) di Mako Polres Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (14/3/2022). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/rwa.

tirto.id - Polisi menetapkan dua pengendara motor gede atau moge yang menabrak dua bocah di Jalan Raya Kalipucang, Pangandaran, Jawa Barat, jadi tersangka. Kasus ini sempat ramai karena si pengendara memberikan uang “damai” kepada keluarga korban. Namun belakangan polisi memprosesnya.

“Sudah tersangka dan ditahan. Dikenakan Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009," kata Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Pol Ibrahim Tompo, ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (16/3/2022).

Merujuk pada pasal tersebut, kedua tersangka, AN dan AG, bisa dihukum dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 juta.

Kasus ini bermula pada 12 Maret 2022, sekira pukul 13.15. Ketika itu Hasan, 8 tahun, menyeberang jalan. Tiba-tiba motor Harley Davidson yang disopiri oleh tersangka menabraknya. “Datang lagi adiknya atau saudaranya (Husen) mau menolong, tiba-tiba datang lagi sepeda motor satu lagi menabrak. Akhirnya keduanya meninggal di tempat," kata Tompo.

Kedua pengendara itu diduga tertinggal dari rombongan konvoi yang tengah menuju Pantai Pangandaran. Usai kejadian, para tersangka pun sempat memberikan Rp50 juta sebagai uang santunan dan surat perjanjian kepada keluarga korban.

Inti dari perjanjian itu yakni menerima bahwa kecelakaan yang merenggut nyawa bocah kembar itu merupakan musibah dari Allah SWT; pihak keluarga tidak akan mengajukan tuntutan secara pidana maupun perdata di kemudian hari atas peristiwa tersebut; keluarga telah menerima santunan dan kasus sudah diselesaikan dengan cara kekeluargaan; bila di kemudian hari ada pihak lain yang mempersalahkan kembali kasus ini, kedua belah pihak sepakat tidak menanggapinya dan/atau gugur demi hukum.

Peneliti di Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sarah Nuraini Siregar mengatakan, kasus penabrakan di jalan raya yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang tentu harus diproses hukum.

“Hal ini karena jelas unsur pidananya, kelalaian telah menyebabkan kematian. Kasus pengendara moge yang menabrak anak kembar memperlihatkan kondisi memprihatinkan dari segi perlindungan pengguna jalan, khususnya pejalan kaki,” tutur dia kepada Tirto.

Padahal hak pejalan kaki atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain dilindungi dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 [PDF], apalagi diperkuat dengan Pasal 131 ayat (3) yang menyebutkan “Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejalan kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya.”

Sarah menganalisis fenomena ini dari aspek sosiologis, kala pihak yang menjadi korban adalah kelompok masyarakat biasa, dan pelanggar hukum (pengendara moge) sebaliknya. Perkara ini “sempat” berujung pada jalan damai dan santunan.

Pada sudut pandang korban, kata dia, kehilangan nyawa keluarganya kerap dipandang sebagai takdir dan jalan damai menjadi pilihan. Pihak korban pun tampak enggan melanjutkan ke proses hukum karena proses yang rumit, sementara mereka sudah terpuruk dengan kejadian tersebut.

Fenomena ini juga pernah terjadi, seperti kasus tabrakan oleh Muhammad Rasyid Amrullah Rajasa (putra Hatta Rajasa) pada 2013, dan Dul (putra Ahmad Dhani) di tahun yang sama. Kedua kasus ini menyebabkan korban tewas. Saat itu vonis hukuman belum mencerminkan asas keadilan di mata masyarakat. Apalagi pada kasus Dul, ia dibebaskan karena masih anak-anak. Padahal proses hukum bisa saja berlanjut karena Dul masih berusia 13 tahun, tetapi sudah mengendarai mobil. Hal ini jelas telah melanggar hukum dan bisa saja dalam konteks ini, ada unsur kelalaian dari orang tuanya.

Perkara ini bisa dianalisis dari proses hukum dari sudut pandang kepatutan dan keadilan. Dalam kasus moge, ada jalan damai yaitu penabrak memberikan santunan, tapi polisi tetap memproses hukum hingga menetapkan kedua pengendara sebagai tersangka.

“Sampai tahap ini, saya apresiasi atas langkah Polri. Namun mengingatkan pula, sebagai penegak hukum, Polri harus melihat asas kepatutan dan keadilan. Kasus ini harus betul-betul dikawal oleh Polri sampai proses pengadilan,” kata Sarah.

Mengapa harus dikawal? Karena sekarang perhatian publik mengarah kepada Korps Bhayangkara. Sejauh mana Polri konsisten dalam melakukan proses hukum, apalagi ada nyawa dua anak melayang. Sejauh mana kepolisian menjalankan asas kepatutan dan keadilan dalam proses hukum tersebut.

“Menurut saya, ini juga menjadi penting bagi citra penegakan hukum Polri, lantaran selama ini berkembang asumsi ‘tebang pilih’ atau ‘tajam ke bawah, tumpul ke atas’,” kata dia.

Santunan Bukan Peluntur Kurungan

Pasal 7 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif [PDF] memaktubkan perihal persyaratan khusus penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif pada kegiatan penyelidikan atau penyidikan, dengan jenis tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, narkoba, dan lalu lintas.

Pada kasus pengendara moge menabrak si kembar, kecelakaan lalu lintas bukan termasuk delik aduan. Meski ada surat perjanjian agar keluarga korban dan pihak lain tak mengungkit perkara ini di lain hari, tapi polisi bisa turun tangan.

“Negara, karena ini delik biasa, harus tetap mengusut karena ini hukum publik soal hilangnya nyawa orang lain,” kata Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi, kepada Tirto.

Namun, tak semudah itu Perpol menjadi angin surga bagi para penabrak pejalan kaki. Pasal 10 Perpol 8 Tahun 2021 itu menegaskan persyaratan khusus untuk tindak pidana lalu lintas hanya berlaku bagi “Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara dan keadaan membahayakan yang mengakibatkan kerugian materi dan/atau korban luka ringan; atau kecelakaan lalu lintas di jalan karena kelalaiannya yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.”

Artinya di sistem keadilan restoratif tak berlaku bagi kasus moge ini. Pun perkara ini mencapai meja hijau, iktikad baik menyantuni korban bisa jadi alasan yang meringankan pelaku. “Misalnya, ancaman hukuman bisa dikurangi separuh atau seperempat. Tapi apakah pengendara moge ini jadi tersangka? Ya, harus. Ketika menabrak, dia tidak sengaja atau karena alpa, atau malah sengaja?” ucap Fachrizal.

Teori kesengajaan dalam ranah pidana bermacam-macam. Jika si pengendara, umpama, sadar mengegas motor hingga 100 km/jam di daerah sepi atau sadar perbuatannya berisiko akan ada orang yang tertabrak di jalan kampung, maka itu termasuk kategori sengaja. Bukan kealpaan sopir.

“Jadi dia bisa dipidana lebih berat. Apakah (kasus) ini bisa dihentikan? Saya rasa tidak, karena melihat Perpol-nya, ini tidak bisa,” kata dia.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berujar, sanksi pada kasus kecelakaan lalu lintas itu sudah diatur dalam undang-undang maupun KUHP yang menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas berat yang mengakibatkan korban meninggal dunia dikenai hukuman pidana.

Problemnya adalah sebuah kecelakaan seringkali bukan karena kesengajaan, melainkan karena kelalaian atau ketidakwaspadaan. Jadi berbeda sekali dengan pidana umum yang merupakan perbuatan sengaja. Pasal 359 KUHP, misalnya, menegaskan “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.”

Tapi bukan tidak mungkin dalam implementasinya, hakim dapat menjatuhkan hukuman terlalu ringan terhadap terdakwa, seperti terdakwa hanya dijatuhi pidana penjara kurang dari satu tahun, misalnya. Padahal hukuman penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun bertujuan untuk mencegah kecelakaan lalu lintas lainnya dan diharapkan menimbulkan tekanan psikologis kepada para pengemudi agar tertib di jalan raya.

“Ini juga menjadi celah bagi kepolisian sebagai ujung tombak penegakan hukum untuk ‘mentransaksikan’ pasal-pasal tersebut sebelum mempidanakan pelaku, membawa ke pengadilan,” ucap Bambang kepada Tirto.

Fakta-fakta seperti itu juga menunjukan bahwa pasal UU tersebut seolah pasal kosong, yang tak berdampak positif bagi rasa keadilan sosial masyarakat. Maka, sambung dia, pengesahan RUU KUHP harus segera dilaksanakan.

“Unsur-unsur kealpaan atau kelalaian dalam tindak pidana lalu lintas yang mengakibatkan kematian sebagai sifat melawan hukum harus tetap ada, karena hakikat delik kealpaan adalah kelalaian itu sendiri. Dengan demikian, tidak bisa seseorang bebas dari hukuman pidana, meski sudah memberi santunan pada korban,” kata Bambang.

Baca juga artikel terkait MOGE atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz