Menuju konten utama

Mengapa Vaksin HIV-AIDS hingga Kini Belum Juga Tercipta?

Sudah lebih dari sepertiga abad, vaksin HIV belum tercipta. Sebagian besar masalah disebabkan karena sifat HIV yang kompleks dan unik.

Mengapa Vaksin HIV-AIDS hingga Kini Belum Juga Tercipta?
Ilustrasi HIV. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dunia hanya butuh waktu lebih kurang satu tahun untuk mencipta vaksin COVID-19. Tapi, sudah lebih dari sepertiga abad vaksin penangkal Human Immunodeficiency Virus (HIV) belum juga tersedia. Sampai-sampai, ada sebagian orang berasumsi kondisi ini berkaitan dengan bisnis kesehatan yang sengaja dipelihara.

Sama seperti virus SARS-CoV-2, HIV juga mengalami mutasi. Dalam periode dua tahun lebih pandemi, virus SARS-CoV-2 telah bermutasi menjadi setidaknya sepuluh varian, dengan varian terakhir adalah deltacron. Lalu ketika dunia tengah fokus pada penanganan COVID-19, para peneliti mengumumkan munculnya varian baru HIV.

Para peneliti dari Institut Big Data Universitas Oxford menyebut varian ini sebagai subtipe-B HIV-1. Dalam artikel ilmiah yang diterbitkan pada awal Februari lalu, mereka menyimpulkan bahwa varian ini lebih menular dan merusak. Infeksi varian subtipe-B HIV-1 membikin sistem kekebalan tubuh (CD4) turun dua kali lipat sehingga orang yang terinfeksi lebih cepat masuk pada fase AIDS ketimbang HIV versi lain.

Tanpa pengobatan, jumlah viral load HIV (virus dalam darah) bisa mencapai tiga sampai lima kali lipat lebih banyak sehingga lebih mudah menular,” demikian tulis studi yang terbit di jurnal Science tersebut.

Subtipe-B HIV-1 ini bahkan diklaim mengalami lebih dari 500 mutasi yang tersebar pada setiap genomnya (keseluruhan informasi genetik pada organisme). Namun kabar baiknya, virus tipe anyar tersebut masih bisa ditekan menggunakan terapi antiretroviral (ARV)--sama seperti varian HIV lain.

Secara garis besar, HIV di dunia dibagi menjadi dua jenis besar: HIV-1 dan HIV-2. Sekira 95 persen kasus infeksi HIV di dunia disebabkan oleh jenis HIV-1. Lalu, jenis HIV-2 diperkirakan memiliki hingga 55 persen perbedaan genetik dari HIV-1. Dari dua kelompok itu, masing-masing diklasifikasikan lagi menjadi beberapa grup, kemudian setiap grup masih pula memiliki turunan subtipe.

Strain HIV-1 diklasifikasikan dalam empat grup, yakni grup M, grup N, grup O, dan grup P. Dari semua grup itu, kelompok yang paling bertanggung jawab atas epidemi HIV global adalah grup M. Sementara itu, grup O mewakili 5 persen infeksi di sebagian negara Afrika Barat dan Tengah. Tiga kelompok lain, yakni grup N, grup P, dan HIV-2 punya persentase kasus yang kecil.

Sampai di titik ini Anda mungkin bertanya-tanya, mengapa para saintis belum juga menemukan vaksin khusus HIV sampai sekarang?

Profesor Patologi Fakultas Kedokteran Universitas Miami Ronald C. Desrosiers menjelaskan fenomena ini dalam tulisannya kepada The Conversation. Desrosiers berkontribusi pada penelitian virus simian immunodeficiency (SIV) pada monyet yang menjadi muasal AIDS pada manusia.

HIV punya sifat-sifat biologis yang unik, yang membuat pengembangan vaksin menjadi sangat sulit,” ungkap Desrosiers.

Untuk mendapat gambaran sederhana tentang kompleksitas HIV, Desrosiers menyodorkan virus influenza sebagai perbandingan. Virus influenza sudah diketahui sangat mudah bermutasi sehingga vaksinnya harus dibuat ulang setiap tahun. Kata Desrosiers, itu belum seberapa karena variasi mutasi HIV dalam satu individu bisa lebih banyak dari jumlah seluruh variasi virus influenza di dunia selama satu tahun.

Lain itu, HIV akan bereplika tanpa henti begitu masuk ke dalam tubuh inang. Lain itu, HIV juga mengembangkan kemampuan tinggi untuk bersembunyi dari sistem imun. Jika selama ini orang yang terserang virus akan mengembangkan kekebalan terhadap penyakit yang sama, HIV bisa menjebolnya.

HIV menggunakan glikoprotein sebagai perisai agar tidak dikenali imun. Sel inang (tubuh manusia) malah mendeteksi glikoprotein HIV sebagai bagian dari mereka,” terang Desrosiers. Glikoprotein pada HIV mengandung protein dan gula. Kadar gula dalam protein milik HIV ini paling banyak di antara semua virus pada 22 famili.

Inilah tantangan terbesar dalam proses penciptaan vaksin HIV. Vaksin HIV harus benar-benar menghalangi replikasi virus, bukan cuma membatasi. Sayangnya sejauh ini, para ilmuwan baru bisa mengebangkan vaksin untuk membatasi replikasinya saja.

Kekuatan antibodi dari orang yang terkena HIV terlalu rendah untuk menangkal virus itu. Antibodi ini juga bersifat spesifik, artinya mereka bisa menangkal virus yang menginfeksi satu individu tapi tidak berguna pada jenis varian mutasi HIV lain di dunia. Singkatnya, virus berkembang lebih cepat dari respon imun.

Perjalanan Panjang Menemukan Penawar HIV

Penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) muncul sekitar awal dekade 1980-an. Hanya berselang empat tahun kemudian peneliti mampu mengidentivikasi HIV sebagai virus penyebab AIDS. Wajar saja saat itu dunia optimis mampu menemukan vaksin HIV dalam waktu dua tahun saja.

Pada 1987, uji klinis vaksin HIV pertama dilakukan di National Institutes of Health (NIH) Clinical Center Bethesda, Maryland. Uji coba fase 1 ini menggunakan sampel 138 orang dengan HIV-negatif. Hasilnya menunjukkan tidak adanya efek samping serius.

Lima tahun kemudian, pada 1992, The National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) melanjutkan uji coba fase 2. Uji coba kali ini dilakukan pada sampel orang dengan HIV-negatif sekaligus memiliki perilaku berisiko tinggi, seperti penggunaan narkoba suntik, berganti-ganti pasangan, dan punya infeksi menular seksual.

Infografik Vaksin HIV

Infografik Vaksin HIV. tirto.id/Quita

Setahun kemudian (1993), bertepatan dengan ditetapkannya Hari Kesadaran Vaksin HIV, Amerika Utara dan Belanda memulai uji coba tahap 3 yang melibatkan lebih dari 5.400 sukarelawan. Lalu selang enam tahun, VaxGen melakukan uji coba yang sama di negara-negara berkembang.

Sejak saat itu, muncul pula beberapa pengembang vaksin HIV lain. NIAID merespons hal itu dengan membentuk HIV Vaccine Trials Network (HVTN) pada 2000 untuk menguji dan mengevaluasi kandidat vaksin di semua fase uji klinis.

Tiga kandidat pertama vaksin HIV gagal total karena tidak memberi perlindungan terhadap infeksi dan tidak ada penurunan viral load pada sampel yang positif. Bahkan ada vaksin yang memberi peluang infeksi HIV (pada sampel orang dengan HIV-negatif),” jelas Desrosiers.

Dua dari tiga kandidat vaksin tersebut diprakarsai VaxGen—yang gagal dalam uji coba fase 3 karena gagal memberi kekebalan. Kemudian pada 2007, NIAD menghentikan studi tahap 2 pada kandidat vaksin Phambili karena masalah keamanan.

Meski banyak menemui kegagalan dalam perjalanan menemukan penangkal HIV, dunia tak menyerah. Amerika dan Thailand sempat membuat kerja sama pengembangan kandidat vaksin HIV bernama RV144. Hingga sepuluh tahun lalu, vaksin ini diklaim paling menunjukkan efek kekebalan.

Awalnya mereka melaporkan tingkat kekebalan tinggi, tapi hasil analisis statistik terakhir mengungkap tingkat efektivitas vaksin ini lebih rendah dari laporan awal,” lanjut Desrosiers.

Jadi, jika ditarik ringkasan deduktifnya, ketiadaan vaksin setelah 38 tahun sejak identifikasi HIV bukan karena kegagalan para ahli, kurang pendanaan, atau malah ketiadaan peluang bisnis, melainkan sifat alami HIV yang rumit dan unik.

Baca juga artikel terkait VAKSIN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi