Menuju konten utama

LIPIA, Ajaran Wahabi di Indonesia

Paham Wahabisme dari Arab Saudi disebarkan ke seluruh negara muslim termasuk di Indonesia. Mendirikan lembaga pendidikan Islam dan bahasa Arab di Jakarta pada 1980. Mayoritas pelajar adalah penganut Salafi yang menekankan aspek “Islam murni” dan sentimen terhadap tradisi.

LIPIA, Ajaran Wahabi di Indonesia
Foto Raja Salman terpampang di depan gebang kampus Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), Jakarta. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - “Saya pengikut para ulama salaf klasik, ulama yang terdahulu. Tidak ada ulama-ulama salaf yang mengajarkan demo, mulai dari sahabat sampai imam empat mazhab. Ulama salaf bukan hanya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,” kata Yuda Prayoga, mahasiswa Syariah semester akhir LIPIA kepada reporter Tirto, Jakarta, awal Maret 2017.

Sudah 7 tahun Yuda menjadi mahasiswa Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA). Ia menghendaki pemurnian Islam dengan cara membersihkan umat dari tambahan-tambahan yang tidak dikehendaki dan disebut bidah dan khurafat.

“Masalah tauhid itu harga mati. Sebutan Wahabi itu hanya untuk mematikan dakwah Islam yang murni. Sekarang yang benci Wahabi ini kebanyakan atas dasar sentimen. Kayak orang takut lewat kebun karena banyak dengar cerita seram, padahal dia sendiri belum pernah lihat hantu,” kata Yuda. Ia menganggap citra terkait ajaran Salafi di Indonesia telah dibiaskan.

Yuda menyebut ajaran yang menjadi tuntunannya bersumber dari contoh-contoh teladan Nabi Muhammad dan generasi pertama umat Islam alias Salaf al-Shalih (para pendahulu yang saleh).

“Kalau ada orang yang mengajak pada ajaran Islam yang murni, yang datang dari Rasulullah yang masih pure, enggak ada tambah-tambah kesesatan, apakah salah? Nah, itu yang dilakukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Di zamannya, orang-orang sudah kembali pada kejahiliyahan,” tuturnya.

Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) adalah pemikir reformisme dalam Islam, yang aliansinya dengan Muhammad bin Saud (1710-1765), pangeran lokal di Najd dan pendiri negara Saudi pertama pada 1744, meletakkan paham Wahabisme. Di tahun 1819 negara ini dihancurkan oleh pasukan imperium Ottoman dari Mesir. Wahabisme tetap marjinal hingga kemunculan Abdul Aziz bin Saud, raja Saudi pertama, pada awal abad 20.

Noorhaidi Hasan dalam Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru (2008) menyebut bahwa sejumlah wacana akademik lama biasanya membedakan antara Wahabisme dan Salafisme. Apa yang disebut Salafisme muncul satu abad setelah pengaruh Abdul Wahhab di seluruh Jazirah Arab. Ia identik dengan para pemikir reformis modern yang dikembangkan oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1935), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Muhammad Rashid Rida (1865-1935).

Ketiga pemikir ini menyerukan umat Islam untuk membuka pintu ijtihad, penyatuan Islam dan ilmu pengetahuan, yang gilirannya memberikan basis bagi modernisme dalam Islam. Pemikiran mereka adalah respons atas kolonialisme Barat, dan upaya rasional mereka agar Islam terlibat dalam politik membedakan dari Wahabisme.

Noorhaidi menyebut gerakan “Salafi kontemporer” untuk Wahabisme, dengan merujuk para penganjurnya menekankan kembali pemikiran yang dikembangkan dari tiga pemikir klasik terkemuka di kalangan Wahabi. Mereka adalah Ibn Taymiyyah (1263-1328), Muhammad Ibn Qayyim Al-Jauziyah (1292-1350), dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Para pengikutnya kerap merujuk fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para otoritas keagamaan dari Arab Saudi. Ibn Taymiyyah, sumber inspirasi Wahhab, adalah pengikut Hanbalisme, mazhab paling ketat dari empat mazhab hukum dalam Islam Sunni.

Menurut Muhammad Hisyam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dua penyebutan antara Salafi dan Wahabi kerap menimbulkan kebingungan, dan seringkali paham Salafi bertukar ganti dengan Wahabisme, meskipun para pengikut Salafi sendiri ada yang menolak dikaitkan dengan Wahabisme lantaran mereka menganggap istilah Wahabisme berkonotasi melecehkan. Penelitian Hisyam tentang Salafi di Indonesia dituangkan dalam Jurnal Harmoni (Januari-Maret 2010) berjudul “Anatomi Konflik Dakwah Salafi di Indonesia.”

Wahabisme adalah ideologi keagamaan resmi Arab Saudi. Ia secara umum digambarkan sebagai gerakan puritan, fanatik, anti-modern, berorientasi ke masa lalu, literal dan skriptural, dengan indoktrinasi dan intoleransi sebagai cirinya yang menonjol. Paham ini mewakili sekte Islam paling puritan dari ekspansi gerakan dakwah Salafi kontemporer di seluruh dunia. Pada abad 20, dan diuntungkan berkat melambungnya harga minyak dunia, Arab Saudi mendukung penyebaran Wahabisme di seluruh dunia Islam.

Di Indonesia, jantung Salafisme adalah LIPIA, institusi pendidikan asing pertama di Indonesia, yang berdiri pada 1980. Pengelolaannya ditangani langsung oleh Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Saud di Riyadh.

Kurikulum LIPIA merupakan duplikasi dari universitas pusatnya. Aliran dana dari Kerajaan Saudi langsung diawasi oleh Kedutaan Saudi di Jakarta. LIPIA dipimpin direktur berkebangsaan Saudi, Khalid bin Muhammad Al-Deham. Para pengajar LIPIA direkrut dari Arab Saudi, Mesir, Yordania, Sudan, Somalia, dan Indonesia. Dari sana muncul istilah 'Pegawai Negeri Saudi' bagi orang Indonesia yang bekerja di LIPIA.

Pendidikan di LIPIA

Seluruh mahasiswa LIPIA mendapatkan biaya kuliah gratis, juga untuk seragam dan buku. LIPIA juga menyediakan asrama yang diprioritaskan bagi mahasiswa asal luar negeri dan mahasiswa baru. Untuk mahasiswa laki-laki, letaknya di lantai 2. Sementara asrama mahasiswi di belakang Pejaten Village, salah satu mal di Jakarta Selatan.

Manajemen kampus juga memberi uang saku pada mahasiswa yang disebut mukafa'ah bulanan. Jumlahnya disesuaikan kurs mata uang riyal. Bagi pelajar di tingkat persiapan bahasa atau 4 semester I’dad Lughawi, setiap bulan mereka mendapat 100 riyal (sekitar Rp250 ribu). Sedangkan para pelajar jenjang pra-universitas atau Takmily yang ditempuh setahun dan tingkat syariah 4 tahun, mereka diberi uang saku 200 riyal (Rp700 ribu). Di setiap lapis tiga tingkat pendidikan di LIPIA ini ada penggarapan skripsi. Namun judul dan daftar isinya disiapkan oleh para dosen pembimbing.

Gedung LIPIA terletak di Buncit Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kedua sayap gedung dipisahkan untuk ruang kuliah khusus laki-laki dan perempuan. Sejak pintu gerbang, sudah ada jalur pemisah bagi laki-laki dan perempuan. Begitu juga perpustakaan, diatur pemisahan akses mengikuti hari. Hari Senin, Rabu, Jumat, dan Sabtu khusus untuk pelajar laki-laki.

Keterbatasan gedung membuat LIPIA membagi perkuliahan dalam dua sesi, dari jam 7.00 sampai jam 12.00, sesi lain dari jam 13.00 hingga 18.00.

“Setelah (jam kuliah) itu gedung harus kosong, saya kunci semua,” kata Suyono, seorang satpam LIPIA, kepada reporter Tirto. LIPIA sempat membeli tanah di daerah Kampung Rambutan untuk memperluas institusinya. Namun hingga kini belum dibangun.

Dari 1982 hingga 2013, LIPIA menghasilkan 11.535 lulusan, dan kini memiliki cabang berupa Lembaga Khadimul Haramain Al-Syarifain di Banda Aceh, Surabaya, Medan, dan Makassar. Lembaga pendidikan dari jaringan LIPIA di daerah ini hanya program persiapan bahasa. Untuk tingkat lanjut, mereka tetap harus studi ke Jakarta.

Tipe Mahasiswa

Irfan Faqih, mahasiswa semester akhir LIPIA, mengatakan orang-orang Salafiyun seperti Yuda Prayoga tergolong mayoritas. Menurutnya, mereka berasal dari pondok dan lingkungan Salafiyun, misalnya Pondok Pesantren Al Irsyad di Salatiga (Jawa Tengah), dan Rodja yang memiliki lingkungan sendiri di daerah Cileungsi (Bogor) dengan pusatnya Masjid Al Barkah.

Meski minoritas, ada beragam mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), dan jemaah Tarbiyah. Tak seperti Yuda yang pasif secara politik, Irfan menilai dalam Islam, wajib hukumnya memilih pemimpin. Sebab hal ini bisa berdampak pada kebutuhan umat muslim sebagai mayoritas di Indonesia. Karena itu ia tak segan beberapa kali ikut demonstrasi termasuk serangkaian aksi di Jakarta dalam kontestasi Pilkada.

Di LIPIA, kata Irfan, tak ada Kitab al-Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahhab. Tetapi, sejak tahun lalu, ada pelajaran dakwah Wahhab. “Kami mempelajari dakwahnya Imam Muhammad bin Abdul Wahhab. Itu sebenarnya seru, menarik cara dakwah beliau yang sampai menyebar. Kalau orang Indonesia yang enggak suka menyebutnya sebagai Wahabi,” ujar Ketua Lembaga Dakwah Kampus Al-Fatih di LIPIA ini.

Sebelum menempuh pendidikan di LIPIA, Yuda dan Irfan berasal dari tempat yang sama, Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat. Pondok ini didirikan oleh Sahal Suhana, politikus dari Partai Keadilan Sejahtera yang jadi anggota parlemen daerah periode 1999-2004.

PKS semula bernama Partai Keadilan, yang dideklarasikan pada 1998 tak lama setelah Soeharto mundur. Para pendirinya bisa dilacak dari gerakan dakwah kampus yang menyebar sejak 1980-an lewat peran penting Dewan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), organisasi dakwah yang didirikan oleh Mohammad Natsir dan mantan pemimpin Masyumi pada 1967. Aktivitas DDII juga disokong oleh aliran dana dari Saudi.

Gerakan Tarbiyah mencangkok atau terinspirasi dari Ikhwanul Muslimin dari Mesir yang semula bernama Harakah Tarbiyah atau “gerakan pendidikan.” Gerakan ini melahirkan Komite Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia lewat kegiatan halaqah (forum pendidikan) dan daurah (diskusi). Sejumlah penggiat utama KAMMI lantas mendirikan Partai Keadilan, sebelum kemudian berganti nama menjadi PKS pada 2003 dan meraih suara signifikan dalam Pemilu 2004. Menurut Noorhaidi Hasan dalam Laskar Jihad, jangkauan pengaruh LIPIA pada gilirannya melahirkan banyak aktivis yang terlibat dalam memperkuat PKS.

Ini bisa dilihat dari contoh kecil pada tipe mahasiswa seperti Irfan Faqih dan Yuda Prayoga. Jika Irfan lebih condong pada Tarbiyah, yang terpapar pada pengaruh Pan-Islamic Salafism, adapun Yuda lebih dekat pada Salafi.

Muslihudin, dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, menulis Husnul Khotimah merupakan model pesantren kader yang memiliki hubungan ideologis secara konsisten dengan PKS, menjadi sarana artikulasi dakwah kader PKS. Dalam tulisannya di Jurnal Holistik (Vol. 14 No. 01/2013), Muslihudin menyatakan bahwa ponpes ini mengedepankan pola Tarbiyah Islamiyah yang modern, sistematis, dan terpadu, tapi tanpa meninggalkan pola Salafiyah.

Awalnya, pada 1994, pondok ini dipimpin oleh Ade Syabul Huda, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo. Ia lantas dilanjutkan oleh Achidin Noor, alumnus Universitas Imam Muhammad Ibnu Saud, Riyadh. Setelah itu, dari 2006 hingga 2010, dipimpin oleh alumnus LIPIA: Sufyan Nur, Jajang Aisyul Muzakki, dan Mu’tamad. Ia kembali dipimpin oleh lulusan luar negeri dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Amam Baruttamam, tetapi kini dipimpin oleh Alumni LIPIA, Mohammad Sabiqin.

Jalan hidup (manhaj) Salafi sendiri—yang tak cuma pandangan soal keagamaan melainkan praktik sehari-hari—dalam riset Din Wahid dari UIN Syarif Hidayatullah berjudul “Nurturing Salafi manhaj”, tidaklah monolitik. Inilah mengapa meski Irfan Faqih dan Yuda Prayoga, dua mahasiswa LIPIA, sama-sama terpengaruh Salafi tetapi mereka beda dalam melihat persoalan kehidupan.

Din Wahid mengklasifikan Salafi di Indonesia ke dalam tiga kategori. Pertama apa yang disebut “puritan”, yakni tunduk pada penguasa dan hanya berfokus pada jalan dakwah dan pendidikan; kedua “haraki” atau gerakan, yang memandang Islam mengatur segala aspek kehidupan termasuk norma sosial, ekonomi, dan politik; dan ketiga adalah “jihadis” yang menganjurkan tindak kekerasan bersenjata termasuk bahkan melawan pemimpin muslim.

Dalam kategori “puritan”, Din Wahid membaginya ke dalam tiga kelompok. Ia menyebutnya kaum “rejectionist”, dengan membentuk komunitas secara eksklusif dan menolak semua kerja sama dengan organisasi yang dianggap partisan, termasuk menolak kurikulum nasional (contohnya adalah Laskar Jihad pimpinan Umar Ja'far Thalib, seorang alumni LIPIA).

Kedua adalah kalangan “kooperatif” yang lebih terbuka dalam kondisi tertentu dengan kelompok muslim lain dan pemerintah (dicontohkan oleh kelompok Abu Nida yang menerima dana dari Kuwait); dan ketiga adalah “tanzimi” atau organisasi yang membentuk lembaga resmi seperti Wahdah Islamiyah di Makassar (Sulawesi Selatan) dan Harakah Sunniyah untuk Masyarakat Islami (HASMI) di Bogor (Jawa Barat).

INFOGRAFIK HL Gerakan Anti Bidah LIPIA

Pandangan Pelajar LIPIA

Irfan Faqih dan Yuda Prayoga tak pernah secara terbuka menegur seseorang yang menurutnya menyimpang secara agama. Meski keduanya sepakat bahwa seorang pemimpin haruslah muslim, tapi mereka lebih mengedepankan jalan edukasi. Karena itulah di LIPIA diramaikan kegiatan halaqah dan daurah.

Melalui Lembaga Dakwah Kampus, Irfan sempat mengadakan halaqah ke Brebes, Jawa Tengah. Program ini bekerja sama dengan cabang Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia di Jawa Tengah. Upaya itu diretas untuk mengedukasi pemahaman Islam ke masyarakat.

“Kami tiap pekan pindah-pindah masjid. Digilir. Jemaah jadi ramai dan ngisi ceramah. Lebih pada amalan utama keseharian, misalnya zikir. Orang-orang masih awam banget,” kata Irfan. “Kalau kita kasih yang sensitif akan sulit diterima. Dalam hal memerangi, kita lebih pada pencerdasan keislaman di masyarakat. Supaya tidak terjebak dalam kelompok yang berkedok Islam.”

Irfan sudah dua tahun terakhir terlibat dalam gerakan dakwah tersebut, dan dari sana ia bergabung sebagai penerjemah di Komite Nasional untuk Rakyat Palestina. Tugasnya, antara lain, menerjemahkan para ulama dari Palestina yang disebar ke beberapa daerah di Indonesia. Irfan sempat ke Bengkulu, Sulawesi, dan Kalimantan Utara.

Irfan dan Yuda menganggap dalam fikih, atau ilmu tentang hukum Islam, setiap muslim bolehlah berbeda dan tak patut diperdebatkan panjang lebar. Namun soal akidah, mereka tak bisa menoleransi. Karena itu sentimen mereka begitu berapi-api terhadap Syiah dan Ahmadiyah.

“Kalau Syiah dan Ahmadiyah menyerang kita, ya kita harus melawan. Kalau kita enggak diserang, ya kita agama damai, enggak akan usik agama lain,” tegas Irfan.

Sikap Irfan serupa dengan Yuda. “Ajaran Ahmadiyah sudah jelas sesat. Syiah lebih bahaya lagi. Bahayanya mereka menisbatkan agamanya pada Islam tapi banyak ajarannya menentang agama Islam yang lurus. Saya pribadi menganggap Syiah ini hewan buas di dalam selimut seorang muslim,” ujar Yuda.

Yuda menganggap ada beberapa bagian dari kultur masyarakat Indonesia yang menyimpang. Misalkan tahlilan. Ia menilai ritual tersebut mengada-ada karena menganggap ruh orang mati masih ada di rumah. “Membidahkan itu berat, ya. Contoh bidah ya tahlilan 7 hari, 40 hari, dan 100 hari,” ucapnya.

Paham Wahabi Berkembang dari Arab Saudi

Zuhairi Misrawi, peneliti politik Timur Tengah, mengatakan sentimen terhadap Syiah merupakan warisan yang diboyong dari Arab Saudi. Ini terkait faktor geopolitik di Timur Tengah. Sebagai peneliti dari Nahdlatul Ulama, Zuhairi menganggap paham yang diimpor dari Arab ke Indonesia melalui LIPIA bertentangan dengan tradisi yang dibangun berabad-abad di Indonesia.

“Ini masalah yang serius, betapa Wahabi tidak mengakui keragaman dalam Islam, cenderung mengkafirkan atau menegaskan kelompok-kelompok yang berbeda dengan mereka, dan menghalalkan kekerasan. Ketika muncul kekerasan atas nama agama, di nalar itu adalah Wahabi. Ada Al-Qaeda. Sudah banyak studi menghubungkan antara Wahabi, violence, dan terorisme,” kata Zuhairi kepada reporter Tirto, akhir Februari lalu.

Lantaran iklim kekerasan dengan sentimen agama kian menguat pasca-Orde Baru, NU sendiri terus memperkuat gagasan apa yang mereka kampanyekan sebagai “Islam Nusantara.” Ada jarak yang diambil untuk mewujudkan Islam Indonesia yang moderat dan toleran.

“Wahabi sebenarnya punya hak untuk menentang paham yang tidak dia setujui. Wahabi, kan, purifikasi. Sebenarnya enggak apa-apa, tapi yang kita tidak bisa terima adalah violence itu,” kata Zuhairi.

Abdullah Darraz, direktur eksekutif Maarif Institute, menjelaskan bahwa di Indonesia, penyebaran paham Salafi/Wahabi berjalan perlahan, lewat para dai yang berdakwa dari masjid ke masjid. Pola mereka sangat disiplin dalam hal pengaderan.

“Mereka yang dibangun bukan pengetahuan agama, tapi semangat keagamaannya. Jadi emosi keagamaannya,” kata Darraz kepada reporter Tirto, akhir Februari lalu.

Ulil Abshar Abdalla, pendiri Jaringan Islam Liberal dan politikus Partai Demokrat yang sempat mengenyam pendidikan di LIPIA tapi tidak lulus, menegaskan ada permasalahan yang muncul ketika sengkarut politik dari Timur Tengah diekspor ke Indonesia. Menurutnya wajar jika Arab Saudi cemas dengan Syiah. Sebab Saudi menganut sistem kerajaan otoriter yang takut struktur politiknya diguncang.

“Mengekspor problem domestik Timur Tengah ke sini berkaitan dengan isu Sunni-Syiah itu berbahaya,” katanya, awal Maret kemarin.

Ulil menjelaskan, gestur kultural Arab Saudi terus mengalami perubahan. Memang, para ulama memiliki kedalaman mengenai akidah keagamaan, dan kerajaan memiliki pedang. Namun keduanya saling menyandera. Sedangkan pihak kerajaan lebih mengutamakan citra Islam yang toleran, moderat, dan damai. Saat kalangan konservatif, radikal, maupun ekstremis berulah, pihak kerajaan justru yang paling ampuh dalam mencegahnya.

Ulil mempercayai jika Salafi-nya Arab Saudi termasuk yang menjalar ke LIPIA telah bersatu bersama perkembangan di Arab Saudi. Justru yang dia khawatirkan adalah penganut Salafi yang bergerak di luar LIPIA.

“Yang perlu diperkuat adalah kekuatan masyarakat sipil untuk mengontrol. Asal kontrolnya dalam bentuk sesuai dengan hukum. Masyarakat mengembangkan pandangan keagamaan yang menjadi tandingan terhadap Wahabisme. Saya yakin betul, tidak mungkin Indonesia di-Wahabi-kan, ragamnya terlalu rumit. Tapi Wahabi tidak masuk ke Indonesia juga mustahil. Anda boleh mengkritik mereka. Tapi Anda tidak bisa menggunakan kekuasaan untuk membungkam atau melarang mereka,” ujarnya.

Redaksi Tirto berusaha meminta komentar dari pihak LIPIA tetapi, sampai laporan ini diturunkan, belum mendapatkan respons. Pada 22 Februari lalu, redaksi telah mengirim surat ke LIPIA. Pada 2 Maret, reporter Tirto mendatangi LIPIA untuk mengonfirmasi surat tersebut sekaligus meminta wawancara tanpa surat.

“Dari Tirto, ya? Suratnya sudah masuk minggu lalu, masih di lantai 4 di ruang pengurus. Kalau belum ada respons, jangankan wawancara, masuk ke dalam saja tidak kami bolehkan,” kata Suyono, satpam LIPIA. Keesokan harinya reporter Tirto mendatangi kembali kampus LIPIA, tetapi tetap tak diizinkan masuk selain di halaman luar gedung.

Baca juga artikel terkait SALAFI atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Politik
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam