Menuju konten utama

Ketika Polisi Bali Menjadi Kacung Konglomerat Richard Muljadi

Polisi di Bali menjadi kacung konglomerat. Mereka mengawal konglomerat yang sedang lari. Atasannya menyebut itu tanpa pemberitahuan.

Ketika Polisi Bali Menjadi Kacung Konglomerat Richard Muljadi
Terdakwa kasus penyalahgunaan narkotika jenis kokain Richard Muljadi (kanan) berbincang dengan Penasehat Hukumnya saat mengikuti sidang pembacaan vonis di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (28/2/2019). ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc.

tirto.id - Baru-baru ini beredar video yang merekam pria diduga Richard Muljadi, seorang cucu konglomerat yang sempat bermasalah dua tahun lalu, lari bersama seekor anjing dan dua pria lain. Apa yang bikin ramai adalah mereka berlari diiringi dengan mobil patroli jalan raya (PJR) resmi milik polisi. Peristiwa itu terjadi di Denpasar, Bali.

Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Syamsi tidak membantah tapi juga tidak membenarkan orang itu adalah Richard Muljadi. Ia hanya mengatakan “rekan-rekan, kan, sudah melihat siapa di video itu, saya enggak perlu jelaskan lagi.” Ia mengatakan yang jadi fokus Polda Bali adalah polisi yang mengawal. “Kami anggap tidak patut dilakukan pengawalan.”

Kabar ini sampai ke Jakarta. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono mengatakan “diperiksa yang ada di video itu.” Di Mabes Polri, Senin (19/10/2020), ia tak merinci kronologis kejadian namun mengatakan akan memberikan sanksi kepada anggota PJR.

Kriminolog dari Universitas Indonesia Leopold Sudaryono mengatakan ada dua aspek dalam kasus ini: aturan dan etika.

Secara hukum, Polri memang berwenang memberikan hak prioritas penggunaan jalan berdasarkan kepentingan umum (ambulans, jenazah, pimpinan lembaga negara, pemadam kebakaran, dll), dan berdasarkan kepentingan tertentu (gegana, penanganan huru-hara, dan bencana alam). Hal ini diatur dalam Pasal 134 huruf g Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Petugas juga melakukan pengawalan khusus berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menyatakan “untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”--biasa disebut diskresi. Kewenangan inilah yang sering digunakan sebagai dasar memberikan prioritas jalan bagi rombongan motor gede (moge), sepeda, atau aktivitas lain.

Diskresi ini sifatnya sangat luas, kata Leopold, tapi juga dibatasi oleh Pasal 18 ayat (2) UU Polri yang menyatakan “diskresi hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

“Jadi, meskipun tidak ada aturan hukum yang secara tegas melarang, namun berpotensi melanggar etika profesi mengenai penggunaan syarat ‘keadaan yang sangat perlu’,” ujar Leopold kepada reporter Tirto, Selasa (20/10/2020).

Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti juga menegaskan tidak semestinya polisi melakukan itu.

“Pengawalan untuk VIP, VVIP, dan orang yang membutuhkan. Misalnya, orang tersebut membawa sejumlah uang agar aman dari tindakan perampokan. Bukan untuk mengawal konglomerat,” kata Poengky kepada reporter Tirto, Selasa.

Mengawal Orang Berduit

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bali Ni Kadek Vany Primaliraning mengatakan bahwa ini adalah satu contoh supremasi orang-orang berduit. “Secara pribadi, lari kok butuh pengamanan? Kalau mau lari di lapangan atau tempat olahraga,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa.

Menurutnya, polisi semestinya juga memeriksa Richard, sebagaimana mereka memperkarakan kegiatan-kegiatan penyampaian pendapat dari orang-orang biasa yang tidak memberitahukan terlebih dulu. Jika tidak dilakukan, maka itu sama saja “bias karena hanya tunduk pada orang bermodal.”

Pemeriksaan terhadap Richard juga penting untuk memverifikasi klaim bahwa tidak ada permintaan resmi untuk melakukan pengawalan. “Bila ada yang mendapat keuntungan dari penyediaan jasa-jasa khusus, maka dapat dikualifikasikan sebagai suap dan anggota itu harus ditindak tegas.”

Ia juga curiga kalau kejadian itu tak viral, “bisa dianggap bukan masalah.”

Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto mengatakan klaim tak ada pemberitahuan kepada atasan itu naif. Jika pun benar, patut dipertanyakan aspek kontrol dan pengawasannya.

“Itu juga bukan murni kesalahan anggota saja, karena ada surat tugas dari pimpinannya. Kalau tanpa surat tugas, mereka bisa dianggap desersi. Jadi, lucu juga bila yang diberi sanksi cuma anggota yang ketahuan saja,” tutur Bambang, ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa.

Ia lantas mengatakan secara umum banyak anggota polisi ingin kerja sampingan, termasuk ‘jasa pengawalan pribadi’ yang sebenarnya merupakan ranah satpam karena iming-iming uang tambahan. Ini terjadi di semua level. Para jenderal polisi, misalnya, bisa menjadi dirjen, staf ahli, atau komisaris perusahaan pelat merah. Apa yang dilakukan para polisi level rendah sebenarnya hanya mencontoh itu, katanya.

Baca juga artikel terkait KASUS RICHARD MULJADI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino