Menuju konten utama

Investasi Rusia di Balik Ambivalensi Jokowi Kecam Invasi ke Ukraina

Jokowi tidak tegas mengecam invasi Rusia ke Ukraina. Ada kepentingan menjaga investasi Rusia di Indonesia?

Investasi Rusia di Balik Ambivalensi Jokowi Kecam Invasi ke Ukraina
Ilustrasi HL Indepth Investasi Rusia di Indonesia. tirto.id/Sabit

tirto.id - “Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia.”

Dua kalimat ringkas itu terbit langsung lewat akun Twitter pribadi Presiden Joko Widodo, hanya beberapa jam setelah rentetan serangan awal invasi militer Rusia di sebagian kota-kota besar di Ukraina pada 24 Februari lalu. Pesan tersebut terasa samar mengingat Jokowi tak menjelaskan untuk siapa pesan tersebut disampaikan.

Beberapa jam setelah, hanya dua menit sebelum berganti hari, giliran Kementerian Luar Negeri yang memberikan pernyataan yang sedikit lebih tegas. Lembaga di bawah Retno Marsudi tersebut menyebut bahwa serangan militer terhadap Ukraina membahayakan dan mengancam keselamatan dunia.

“Oleh karenanya, Serangan militer di Ukraina tidak dapat diterima. Serangan juga sangat membahayakan keselamatan rakyat dan mengancam perdamaian *serta* stabilitas kawasan *dan* dunia.”

Ia bergerak lebih jauh dengan berani menyebut “serangan militer di Ukraina”, namun tetap tak menyebut negara mana yang menyerang. Jokowi dan Retno sama-sama tak menyebut negara Rusia di dalam ucapan mereka.

Namun Tenggara Backgrounder, lembaga wadah pemikir politik gabungan dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) and Universitas Prasetiya Mulya, mendapat informasi lain. Dalam laporannya pada 4 Maret lalu, Indonesian government and public ambivalent toward Ukraine war, sumber lembaga menyebut bahwa awalnya Jokowi meminta Retno untuk bikin draf pernyataan sikap, namun Retno sulit dihubungi karena sedang kunjungan ke Prancis dan Swiss.

Akhirnya, pihak Istana Negara meminta “seorang mantan diplomat” untuk membikin draf tersebut. Jokowi awalnya tidak yakin dengan draf tersebut. Namun setelah diskusi panjang antara pihak Istana Negara dan mantan diplomat tersebut, akhirnya draf yang terbit lewat akun Twitter resmi Jokowilah yang dipakai—tanpa menyebut negara mana yang sedang berperang.

Dalam Majalah TEMPO edisi 5 Maret lalu, salah seorang sumbernya menyebut draf pernyataan Jokowi tersebut disusun oleh Rizal Sukma, yang memang seorang mantan diplomat. Ia pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Inggris, Irlandia, dan Organisasi Maritim Internasional. Namun, belakangan draf tersebut tidak digunakan. Rizal Sukma juga membantah hal tersebut.

Sumber lain Tenggara Backgrounder juga menyebut bahwa pernyataan Pemerintah sejauh ini dipengaruhi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan. Kata sumber tersebut, salah satu alasan mengapa Indonesia tak tegas sikapnya karena adanya investasi Rusia di Indonesia, salah satunya proyek pembangunan kilang minyak di Tuban yang nilai investasinya mencapai 200 triliun rupiah.

“Sumber juga mengungkapkan bahwa penamaan Rusia dikhawatirkan akan mengganggu investasi untuk proyek ini,” tulis Tenggara Backgrounder dalam laporannya.

Kepada wartawan Tirto, Plt. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah enggan memberi konfirmasi soal laporan yang menyebut Jokowi sulit menghubungi Retno pada 24 Februari lalu. Namun, ia bilang bahwa komunikasi antara Jokowi dan Retno selalu terjaga, kendati Retno sedang berpergian.

“Kan, sekarang di penerbangan ada wifi, ya,” katanya pada 16 Maret pagi.

Namun, Teuku mengaku bahwa pihaknya memang sejak awal merekomendasikan draf pernyataan untuk dikeluarkan oleh Jokowi. Berikutnya, baru Jokowi yang memutuskan apakah akan menggunakan rekomendasi itu atau tidak. “Itu saya tidak bisa dalam kapasitas menjelaskan ya apa yang terjadi di lingkaran kepresidenan, ya,” katanya.

Teuku juga menjelaskan pernyataan sikap Pemerintah—entah itu Jokowi maupun Retno—sangat jelas dan sudah mencerminkan posisi Indonesia. Namun ia tak menjelaskan posisi seperti apa yang dimaksud. Ia merasa tak ada masalah walau tak menyebut nama Rusia. “Jadi dengan atau tanpa menyebutkan salah satu negara sekalipun, kita sudah menyampaikan posisi kita yang jelas dan gamblang sebenarnya,” kata dia.

Ia pun menepis adanya keterlibatan Luhut dalam penentuan draf pernyataan Jokowi. Teuku bilang lembaganya tak pernah berkomunikasi dengan kementeriannya Luhut. “Saya tidak ada komunikasi khusus dengan Kemenkomarves, ya. Yang saya ketahui komunikasinya itu antara Menlu dengan Presiden,” kata dia.

Wartawan Tirto juga berusaha melakukan konfirmasi soal keterlibatan Luhut dalam mempengaruhi pernyataan Jokowi di Twitter. Namun, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenkomarves, Septian Hario Seto, enggan berbicara. “Aduh, aku enggak terlalu monitor,” katanya 15 Maret lalu.

Belakangan, Pemerintah Indonesia mendukung Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berisi pengecaman dan menuntut penghentian invasi militer Rusia ke Ukraina. Sebanyak 141 negara menyetujui resolusi tersebut, termasuk Indonesia.

Lingkaran Bisnis dan Investasi Rusia di Indonesia

Jika merujuk National Single Window for Investment (NSWI) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai investasi Rusia di Indonesia sepanjang 2014-2021 hanya 65,9 juta USD—atau sekitar 942 miliar rupiah—dengan jumlah proyek mencapai angka 665. Sepanjang tujuh tahun tersebut, angka tertinggi pun baru terjadi pada tahun lalu, yaitu 23,2 USD—atau sekitar 331 miliar rupiah.

Sebetulnya, angka tersebut tak begitu besar. Apalagi menjadi sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Singapura, Hong Kong, Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang yang nilai investasinya di Indonesia melampaui 2 miliar USD—atau sekitar 28,5 triliun rupiah—pada 2021. Pun investasi dari Rusia hanya 0,1 persen dari total investasi yang masuk ke Indonesia selama 2021.

Dalam ranah perdagangan, nilai ekspor, impor, dan neraca perdagangan antara Indonesia dan Rusia cenderung menurun. Nilai ekspor pada 2021 adalah 1,4 miliar USD, sangat jauh menurun dari 2014 yang mencapai 497,9 miliar USD. Impor juga menurun dari 286,6 miliar USD pada 2014 menjadi 1,2 miliar USD pada 2021.

Komoditas ekspor utama Indonesia ke Rusia antara lain lemak dan minyak hewani atau nabati—yang dibutuhkan warga Indonesia di saat kelangkaan minyak goreng seperti sekarang ini—dengan nilai sebesar 511 juta USD pada 2020. Diikuti kopi, teh, mate, dan rempah-rempah sebesar 53,9 juta USD, serta alas kaki 51,7 juta USD. Adapun komoditas impor dari Rusia ke Indonesia antara lain besi dan baja 291,6 juta USD, pupuk 210,6 juta USD, bahan bakar mineral 182 juta USD, serta pesawat udara 46 juta USD.

Kembali ke ranah investasi di Indonesia, ada beberapa sektor yang diandalkan Rusia: industri kimia dan farmasi, hotel dan restoran, properti perumahan mewah, perdagangan dan layanan, dan lain-lain. Investasi Rusia ini tersebar di wilayah Bali dan Nusa Tenggara sebesar 57,3%, Sumatera 34%, Jawa 7,3% dan Kalimantan 2,4%.

Salah satu investasi Rusia di Indonesia yang cukup besar nilainya adalah proyek pembangunan kilang minyak grass root refinery (GRR) di Tuban, Jawa Timur, untuk produksi BBM dan bahan baku petrokimia. Kilang ini dibangun atas kerjasama Pertamina dengan perusahaan minyak milik Rusia, Rosneft. Keduanya bikin perusahaan gabungan bernama Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PT. PRP&P) sejak 2016 lalu.

Proyek pembangunan kilang minyak di Tuban ini menjadi sangat penting mengingat kontribusi kapasitasnya yang hampir menyentuh 1/3 dari kebutuhan BBM per hari di Indonesia. Menurut SKK Migas, kebutuhan BBM di Indonesia per hari mencapai 1,4 juta barel, sedangkan kapasitas produksi hanya menyentuh 800.000 barel per hari. Sisanya, 600.000 barel, Indonesia masih bergantung dengan impor.

Sejak 2017, kilang minyak Pertamina-Rosneft tersebut sanggup berkontribusi hingga 400.000 barel per hari. Artinya, jika kilang minyak ini selesai dan beroperasi, ia bisa menurunkan kebutuhan impor hanya menjadi 200.000 barel per hari.

Proyek tersebut masuk dalam prioritas Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), yang rencananya mulai operasi pada 2024 mendatang. Dengan menghabiskan lahan seluas 841 hektare, perusahaan gabungan tersebut berbagai saham dengan 55 persen untuk Pertamina dan 45 persen untuk Rosneft.

Rencana proyek ini sempat ramai ditolak warga Tuban karena nilai pembebasan lahan yang belum cocok selama beberapa tahun lalu. Namun, akhirnya warga diberi kompensasi jumbo, dan bikin sebagian warga jadi kaya mendadak. Salah satunya di Desa Sumurgebang yang total ada 70 kepala keluarga.

Rata-rata warga mendapat dana kompensasi sebesar 8 miliar rupiah, namun ada juga yang mendapat hingga 38 miliar rupiah. Dalam satu desa, total mobil baru yang dibeli seluruh warga mencapai 176 unit.

Rosneft sendiri merupakan perusahaan tambang—yang fokus ke minyak bumi, gas alam, dan petrokimia—yang sebagian besar sahamnya dimiliki Pemerintah Rusia. Berkantor pusat di Moskow, Direktur Utamanya adalah Igor Sechin, yang pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Rusia sepanjang 2008-2012.

Media progresif berbasis di Inggris, The Guardian, menyebut Igor Sechin sebagai lambang kekuasaan Putin yang memegang posisi sentral ekonomi di Rusia. Igor dekat dengan Putin, bahkan pernah disebut sebagai orang paling penting nomor dua di Rusia. Pada 2020, pajak Rosneft di Rusia mencapai 1,8 triliun rubel—nilai yang cukup untuk mendanai 40 persen anggaran tahunan militer Rusia.

“Pasokan minyak Rosneft jadi salah satu kunci alat geopoltik Putin,” tulis The Guardian. “Dia adalah orang paling dipercaya oleh Putin dan penasihat terdekat, sebagaimana teman personal. Dia menghubungi Presiden Rusia setiap hari.”

Pendeknya: Igor Sechin adalah wajah dari oligarki Rusia. Pada 2015, majalah Forbes memasukkan Igor Sechin ke urutan 47 dalam daftar nama orang paling berkuasa di dunia bisnis.

Belakangan, sebuah kapal pesiar mewah bernama Amore Vero yang menepi di Prancis disita oleh pihak bea cukai, imbas dari sanksi Uni Eropa terhadap Rusia. Prancis menemukan bukti bahwa Igor Sechin adalah pemegang saham utama perusahaan offshore kapal tersebut.

Selain Rosneft, ada juga perusahaan minyak milik negara Rusia bernama Zarubezhneft, yang mengakuisisi 50 persen bagian Premier Oil-SKK Migas di Kontrak Bagi Hasil (KBH) blok Tuna, Kepulauan Natuna, pada 2020 lalu. Yang lainnya adalah RusHydro, perusahaan energi yang berinvestasi untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sejak 2021 lalu. Perusahaan yang 61,7 persen sahamnya dipegang oleh pemerintah Rusia ini memiliki fokus pada penyediaan listrik berbasis energi bersih di mana saat ini memiliki porsi sebesar 81,5 persen dalam portofolio pembangkitnya.

Pada 2019 lalu, Presiden Joko Widodo meminta untuk proyek Pertamina-Rosneft tersebut rampung dalam waktu tiga tahun. Namun nyatanya pada November tahun lalu ia mengungkapkan kekecewaannya karena proyek itu mandek. Kata dia, dari nilai investasi 168 triliun rupiah, realisasinya baru menyentuh 5,8 triliun rupiah.

“Ini investasi yang gede sekali,” kata Jokowi saat itu. “Rosneft-nya ingin cepat, tapi kita-nya enggak ingin cepat.”

Infografik HL Indepth Investasi Rusia di Indonesia

Infografik HL Indepth Investasi Rusia di Indonesia. tirto.id/Sabit

Main Aman Perkara Investasi?

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai bahwa pernyataan Pemerintah terkait invasi militer Rusia terhadap Ukraina cenderung main aman. Menurutnya, dugaan mengeluaran pernyataan yang main aman untuk berhati-hati terhadap investasi Rusia di Indonesia sangat masuk akal.

“Tentu main aman. Oportunistik untuk mengamankan investasi,” kata Bhima saat dihubungi pada 16 Maret lalu.

Apalagi, kata Bhima, proyek pembangunan kilang minyak di Tuban, yang melibatkan investasi Rosneft dari Rusia, memang dirancang untuk mengurangi ketergantungan impor BBM. Dengan begitu, investasi Rusia terhadap proyek tersebut sangat krusial.

Kendati demikian, lanjut Bhima, sikap tersebut tak bisa menjadi jaminan investasi Rusia ke Indonesia tetap lancar. Pasalnya, keadaan ekonomi Rusia juga sedang tidak membaik usai diberi sanksi oleh Uni Eropa. Banyak aset milik Rusia di negara-negara Eropa yang dibekukan dan berdampak secara ekonomi.

Selain itu, kata Bhima, ada rencana Rusia untuk menunda dan melarang investasi ke luar guna mencegah terjadinya arus modal keluar—capital outflow. Jika kebijakan tersebut ditetapkan, pilihan investasi Rusia ke banyak negara hanya dua: ditunda atau dibatalkan. Pembatalan tersebut yang menurut Bhima dikhawatirkan banyak negara, termasuk Indonesia.

“Artinya rusia sedang mementingkan likuiditas di dalam negerinya, karena sanksi-sanksi yang dilakukan oleh negara barat,” kata dia.

Sehingga, menurut Bhima, tak menutup kemungkinan apapun sikap Pemerintah akan berdampak kepada investasi Rusia. Investasi dalam bentuk apapun memungkinkan untuk berhenti, termasuk untuk proyek kilang minyak di Tuban.

“Gambarannya: investasi sedang on going, tapi ini proyek jangka panjang, bukan hanya 1-2 tahun saja. Kalau sumber pendanaan dari Rusia-nya terhambat, bisa enggak jalan proyeknya,” kata dia.

Dosen hubungan internasional Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna Choiruzzad, membenarkan jika ada faktor ekonomi dalam sikap Pemerintah Indonesia terkait invasi Rusia ke Ukraina. Namun, menurutnya ada faktor yang lebih luas lagi, salah satunya budaya diplomasi Indonesia yang sudah kadung terbentuk untuk enggan terseret ke dalam konflik antara kekuatan besar dunia.

Kata dia, budaya ini dibentuk sedikit banyak mengambil pengalaman dari masa Revolusi Kemerdekaan dan pada masa Perang Dingin.

“Penting untuk diingat bahwa tokoh-tokoh yang mengambil kebijakan hari ini adalah mereka yang tumbuh pada periode Perang Dingin. Pemerintah yang berkuasa hari ini, PDIP, juga mengalami kedekatan pengalaman dengan perubahan kekuasaan yang dianggap didukung oleh Barat—peristiwa 1965, yang membuat mereka barangkali dalam derajat tertentu memaklumi pandangan Rusia bahwa Revolusi Euromaidan yang menggulingkan Yanukovych pada tahun 2014 adalah kudeta, sehingga relatif berhati-hati untuk menjadikan isu ini hitam putih,” kata Shofwan kepada wartawan Tirto, 16 Maret lalu, merujuk pada serangkaian demonstrasi di Maidan Nezalezhnosti pada 2013 yang menolak kedekatan Ukraina dengan Rusia.

Menurut Shofwan, dengan mendukung resolusi PBB, Indonesia sudah cukup memilik keberpihakan terhadap kemanusiaan dan kedaulatan negara—prinsip-prinsip yang jelas dilanggar oleh Rusia.

“Dengan demikian, meskipun barangkali investasi Rusia dianggap penting dan mungkin berpengaruh dalam sikap Indonesia, saya melihat bahwa ia bukan faktor utama yang menjelaskan sikap Indonesia,” katanya.

Baca juga artikel terkait PERANG UKRAINA atau tulisan lainnya

tirto.id - Indepth
Reporter: Johanes Hutabarat & Haris Prabowo
Editor: Adi Renaldi