Menuju konten utama
Round Up

Fenomena Gunung Es di Balik Kasus Tahanan Meninggal di Rutan Polisi

Kehadiran rutan di sejumlah kantor polisi akibat diskresi kepolisian untuk punya rutan dengan dalih tidak ada rutan di satu daerah.

Fenomena Gunung Es di Balik Kasus Tahanan Meninggal di Rutan Polisi
Ilustrasi Penjara. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Kasus kematian Hermanto (47) yang merupakan tahanan Polsek Lubuklinggau Utara, Kota Lubuklinggau, Sumatra Selatan memasuki babak baru. Empat polisi ditetapkan sebagai tersangka usai sekitar 6 anggota Polsek Lubuklinggau Utara diperiksa propam. Hermanto ditemukan meninggal dalam rutan dengan kondisi luka-luka.

Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) pun merespons kasus ini. Peneliti ICJR Genoveva Alicia mengatakan, kejadian di Polsek Lubuklinggau Utara bukan yang pertama dan kerap kali tidak diselesaikan secara menyeluruh.

“Tindakan penyiksaan yang menyebabkan kematian terhadap tersangka yang ditahan bukan kali pertama terjadi. Hal ini selalu menjadi fenomena yang selalu berakhir ditangani secara parsial tanpa adanya usaha untuk mengakhiri akar penyebab masalah ini,” kata Genoveva dalam keterangan tertulis, Rabu (16/3/2022).

Genoveva mencontohkan kematian yang menimpa tahanan Polsek Sunggal, Kota Meda, Sumatra Utara, Joko Dodi dan Rudi Efendi pada September 2020. Pihak keluarga mengaku menerima laporan Joko kerap disiksa selama ditahan. Keluarga pun melaporkan dugaan penyiksaan kemudian meminta autopsi, tetapi tidak ada lagi perkembangan kasusnya.

Kemudian, kabar kematian tahanan bernama Herman pada Desember 2020 saat ditahan di Polres Balikpapan. Dalam kasus ini, ada 6 orang polisi ditetapkan sebagai tersangka. Kasus lainnya adalah kematian Deki Susanto yang disebut disiksa dan ditembak saat ditahan polisi pada Januari 2021.

Genoveva juga mengutip hasil studi LBH Masyarakat bahwa 22 dari 150 peserta penyuluhan hukum di rumah tahanan Jakarta mengaku disiksa selama perkara dipegang kepolisian. Lalu, Komnas HAM juga mencatat ada 11 kasus kematian tahanan polisi yang meninggal kurang dari 24 jam setelah ditangkap.

“Seluruh penanganan kasus penyiksaan ini berhenti pada penyelesaian kasus per kasus. Belum pernah ada usaha untuk melihat apa sebetulnya yang menyebabkan penyiksaan hingga kematian tahanan di kepolisian kerap terjadi,” kata Genoveva.

Genoveva mengingatkan penahanan dilakukan sesuai Pasal 7 ayat 1 KUHAP. Akan tetapi, penahanan tidak seharusnya di kedepankan dalam proses hukum. ICJR menyoroti sikap polisi yang kerap kali menetapkan penahanan atas kehendak sendiri, bahkan tidak sedikit surat penahanan tidak menyampaikan alasan substansi penahanan.

Genoveva juga mengingatkan, metode penahanan tidak selalu di rutan kepolisian. Ia mengacu pada Pasal 22 KUHAP yang menyatakan penahanan dapat di rutan, penahanan kota, dan penahanan rumah. Selain itu penjelasan Pasal 22 ayat 1 KUHAP dan Pasal 18 PP 27 tahun 1983 menyatakan penahanan di kantor polisi hanya dibolehkan bila tidak ada rutan di suatu daerah.

“Artinya penahanan kepolisian bersifat sementara dan bukan suatu hal yang biasa,” kata Genoveva.

Oleh karena itu, ICJR memandang penahanan lebih dari 24 jam yang dilakukan polisi tidak dapat dibenarkan sesuai hak atas peradilan hukum. Otoritas yang berwenang untuk menahan harus dipisahkan dengan pihak yang merawat tahanan agar tahanan tidak menjadi kuasa aparat penegak hukum. Hal itu harus ada di KUHAP agar tidak ada penyiksaan pada saat pemeriksaan dan pemeriksaan di waktu yang tidak wajar.

“Ketika penahanan dilakukan di Kantor Kepolisian, kontrol penuh terhadap tersangka ada di tangan penyidik dengan kepentingan penegakan hukum, memperoleh bukti untuk memperkuat perkaranya. Dalam kondisi seperti itu, tidak dapat dipungkiri kekerasan mulai yang dilakukan secara verbal dalam bentuk intimidasi hingga fisik, sangat rentan terjadi," kata Genoveva.

Ia menambahkan, "Penahanan di kantor kepolisian harus dilarang karena membuka peluang besar dilakukannya pemeriksaan incommunicado, atau tanpa komunikasi dengan dunia luar. Situasi-situasi ini, tentunya sangat rentan menjadi ruang penyiksaan untuk mendapatkan informasi dan pengakuan dari tersangka.”

Genoveva juga menyoroti minimnya informasi kondisi dan akses tahanan yang ditangani kepolisian. Minimal laporan jumlah tahanan, kondisi tahanan ke publik, dan tidak ada batabase rutan memicu masalah minimal informasi kondisi tahanan. Ia mengutip data 6 dari 11 kasus kematian tahanan yang ditangani Komnas HAM terjadi akibat pemberian akses kesehatan pada tahanan lambat.

Di sisi lain, polisi sebaiknya tidak perlu mempunyai tugas untuk merawat tahanan, sementara tugas mereka sudah besar di bidang keamanan dan ketertiban.

“Kepolisian punya tugas begitu besar menjadi keamanan dan keteriban di masyarakat. Maka, tugasnya tak perlu ditambah lagi dengan perawatan tahanan. Sehingga semua pihak mulai dari pemerintah, DPR, Komnas HAM, lembaga-lembaga dalam Kerja sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) harus menyerukan penghentian penahanan di kantor-kantor kepolisian. Hal ini dapat dimulai dengan seruan revisi KUHAP yang sudah jauh tertinggal zaman,” kata Genoveva.

Sementara itu, Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi memandang, kasus kematian dalam rutan kepolisian adalah hal yang sudah lama terjadi. Ia mengingatkan kehadiran rutan polisi di sejumlah kantor polisi akibat diskresi kepolisian untuk punya rutan dengan dalih tidak ada rutan di satu daerah.

“Akhirnya solusinya sejak 1981 sampai sekarang, polisi, jaksa itu bikin rutan sendiri. Ini yang sampai sekarang tidak serius ditertibkan. Kalau kita telusuri, saya haqqul yaqin itu tidak ada akreditasi atau izinnya. Artinya banyak rutan yang ilegal sebenarnya yang dikelola polisi sama jaksa,” kata Fachrizal kepada Tirto.

Fachrizal menuturkan, kewenangan penahanan tahanan harus di rumah tahanan sesuai ketentuan KUHAP. Rutan sendiri dikelola oleh Ditjen Pemasyarakatan karena ia yang punya wewenang untuk membina para tahanan. Para tahanan pun bukan disebut tahanan, tetapi warga binaan pemasyarakatan atau WBP.

“Dari situ saja terlihat filosofinya bahwa pemasyarakatan itu didesain untuk memanusiakan. Orang bersalah pun karena dianggap warga negara yang bisa dibina. Ini yang saya yakin tidak punya SOP dan karu-karuan untuk rutan ini, bahkan data tahanan seluruh indonesia ada gak? Ada di [Ditjen] PAS, yang tahanan dikelola polisi gelap karena nggak pernah dilaporkan,” kata Fachrizal.

Oleh karena itu, Fachrizal memandang polisi harus bertanggung jawab atas nasib tahanan yang sampai meninggal dunia. Di sisi lain, Fachrizal mendorong agar polisi mengevaluasi SOP penahanan.

Fachrizal bahkan mendukung gagasan untuk menghapus rumah tahanan di kepolisian dan kejaksaan. Namun penerapan kebijakan penghapusan rutan di kepolisian dan kejaksaan sulit dilakukan dengan kondisi rutan yang masih terbatas.

“Kalau dihapus, masalahnya gak semua punya rutan. Kalau saya idealnya memang gak boleh polisi punya pengelolaan rutan, sepakat saya. Cuma kalau misalkan ternyata kumham negara tidak bisa bikin rutan, saya kira harus ada semacam audit dan akreditasi. Artinya rutan tipe apa, tipe apa,” kata Fachrizal.

Fachrizal menambahkan, “Itu kan harus diaudit sama kumham. Artinya standar pelayanan HAM seperti apa. Kan harus diawasi oleh kumham karena dia yang punya kewenangan itu, bukan polisi, bukan jaksa,” tegas Fachrizal.

Baca juga artikel terkait RUTAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz