Menuju konten utama

Tokoh PKI dan Orang Kiri yang Jadi Pahlawan Nasional

Sebelum Orde Baru, gelar pahlawan nasional bisa diserahkan kepada siapa saja yang dianggap berjasa—tanpa pandang ideologi.

Tokoh PKI dan Orang Kiri yang Jadi Pahlawan Nasional
Ilustrasi Hari Pahlawan Nasional: Tan Malaka & Alimin. tirto.id/Nadya Zahwa Noor

tirto.id - Siapa bilang tak ada PKI yang jadi Pahlawan Nasional? Nyatanya Tan Malaka dan Alimin—yang berjuang melawan kolonialisme—ada dalam daftar. Beberapa kolega Tan Malaka juga menjadi pahlawan nasional.

Sukarni muda memang berbahaya bagi pemerintah kolonial Belanda. Untuk itu, ia kabur ke Kalimantan. Di kota Banjarmasin, Sukarni menyaru sebagai penjual soto agar terhindar dari tangkapan aparat hukum kolonial. Sudah pasti juga untuk mengganjal perut. Penyamarannya nyaris terbongkar ketika seorang gadis hendak membeli soto. Sukarni pun lari tunggang-langgang. Meninggalkan dagangan sotonya, yang kemudian dibenahi oleh kawan-kawannya.

Rupanya, seperti terangkum dalam buku Sukarni dalam Kenangan Teman-temannya (1986), gadis yang hendak beli soto itu ternyata teman sekolah Sukarni di Jakarta. Bisa celaka jika gadis pembeli soto mengenali Sukarni yang saat itu dalam buruan aparat kolonial.

Meski berjuang keras, Sukarni akhirnya tertangkap juga di Balikpapan. Di masa pendudukan ia sempat ditahan. Ia senasib dengan Adam Malik dan Wikana. Jelang proklamasi, Sukarni termasuk pemimpin pemuda yang menggerakkan generasi sebayanya dalam rangka percepatan proklamasi kemerdekaan Indonesia—setelah Jepang menyerah pada 14 Agustus 1945.

Baca juga: Pemuda Kiri Mendesak Proklamasi

Setelah Indonesia merdeka, Sukarni ikut mendirikan partai bersama Tan Malaka—yakni Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). Sukarni lama menjadi Ketua Partai Murba.

Partai Murba tidak secara terbuka mencantumkan komunisme sebagai asas atau ideologi partai. Namun, inspirasi dari komunisme terlalu lekat untuk diabaikan. Partai ini dideklarasikan pada 7 November 1948, tanggal yang bertepatan dengan hari Revolusi Rusia pada 1917.

Atas alasan-alasan yang bisa dimengerti, tulis Sin Po edisi 15 November 1948, partai ini tidak menyebut dirinya komunis, tapi sesungguhnya haluan partainya memang demikian.

Surat kabar Het Dagblad bahkan menyebut Partai Murba sebagai "kolam penampungan organisasi-organisasi paling kiri" (Harry Poeze, Tan Malaka Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia jilid 4, hlm. 113-114).

Tak hanya Sukarni, yang terlibat dalam pendirian Murba, dianugerahi pahlawan nasional (SK Presiden No. 111/TK/2014 tanggal 6 November 2014). Mantan Wakil Presiden Adam Malik pun sama (SK Presiden No. 107/TK/1998 tanggal 6 November 1998).

Dua kawan dekat Tan Malaka di masa revolusi, dan berperan dalam perjuangan kemerdekaan, itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Selain itu, ada Mohammad Yamin—sekretaris Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Yamin dianggap pengikut Tan Malaka, meski Yamin belakangan menyangkal, sebagai anggota Partai Murba dalam buku Apa dan Siapa (1951).

Benar tidaknya Yamin di Murba, Yamin pernah menulis buku Tan Malaka: Bapak Republik Indonesia—yang diterbitkan oleh Penerbit Moerba Berdjoeang pada pada 1946. Yamin diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden No. 088/TK/1973 tanggal 6 November 1973.

Tentu saja, "Guru Besar" Partai Murba tak bisa dilupakan: Tan Malaka.

Di masa pergerakan nasional, ia menjadi tokoh penting Partai Komunis Indonesia pada masa awal sejarahnya. Pada Desember 1921, Tan Malaka menggantikan Semaoen sebagai Ketua PKI.

Posisi itu tak lama dipegang. Pemerintah kolonial mengeluarkan besluit bernomor 22 tanggal 10 Maret 1922 untuk membuang Tan Malaka.

Meski pernah di PKI, Tan Malaka tak pernah dekat dengan partai ini setelah berseberangan dengan Stalin dan, terutama , menolak rencana perlawanan bersenjata yang digelar PKI pada 1926. Sejak itu, Tan Malaka bahkan menjadi musuh besar orang-orang komunis Indonesia.

Baca juga: Kosmopolitanisme Tan Malaka

Semua tahu Tan Malaka adalah tokoh yang dikenal dengan "Merdeka 100 Persen", yang tak suka perundingan-perundingan yang merugikan Indonesia. Meski di masa revolusi Tan Malaka sering berseberangan dalam cara menghadapi Belanda di perundingan, Sukarno memuliakan Tan Malaka.

“Tan Malaka adalah pencinta tanah air dan Bangsa Indonesia, ia adalah sosialis yang sepenuh-penuhnya,” kata Sukarno dalam Bung Karno Tentang Partai Murba (1961).

Menurut catatan Harry Albert Poeze, dalam artikel kasus Tan Malaka pada buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (2008), dalam pidato Tan di Kongres Partai Murba, Desember 1960, Sukarno merehabilitasi nama Tan Malaka.

Tokoh pergerakan nasional yang terbunuh di Desa Selopanggung, Kediri, pada 21 Februari 1949 ini—ketika ikut aktif dalam revolusi kemerdekaan Indonesia—diangkat jadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 28 Maret 1963. Status pahlawan itu tertuang dalam SK Presiden No. 53 tahun 1963. Tan Malaka adalah orang Indonesia ke-17 yang dianugerahi pahlawan nasional.

Tan Malaka memang diasingkan, bahkan dimusuhi, oleh PKI. Namun, sampai akhir hayatnya, ia adalah seorang marxis, yang meyakini materialisme-dialektis. Hanya, ia memang bukan lagi anggota partai komunis yang menjadi bagian Komintern. Harry Poeze, peneliti paling cermat tentang Tan Malaka, menganggapnya sebagai "seorang komunis yang nasionalis."

Baca juga: Tokoh PKI di TMP Kalibata

Infografik HL Pahlawan

Bukan cuma Tan Malaka yang bekas pengurus PKI diangkat pahlawan nasional. Setahun lebih setelahnya, Alimin juga menjadi pahlawan nasional, dan dimakamkan di TMP Kalibata.

Alimin, menurut JB Sudarmanto dalam Jejak-jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia (2007), meninggal dalam kondisi lanjut usia pada 24 Juni 1964.

Sayuti Melik mengantarkan Presiden Sukarno melayati Alimin. Jika Tan Malaka baru 14 tahun setelah kematiannya menjadi pahlawan nasional, Alimin hanya dua hari setelah kematiannya, berdasar SK Presiden No.163 tahun 1964, sebagai Pahlawan Nasional ke-27.

Di masa kolonial, menurut Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 (2010), Alimin menggalang para jawara dan orang-orang dunia hitam di Tanjung Priok untuk ikut pergerakan. Orang-orang dunia hitam dan jawara ini berguna dalam melindungi orang-orang PKI dari incaran penguasa kolonial dan koleganya.

Menurut Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 3 (2010), “Selama pendudukan Jepang atas pulau-pulau di Indonesia, Alimin memimpin perjuangan kaum komunis melawan pendudukan Jepang, dan pada akhir masa perang, Alimin menjadi Kepala Politbiro PKI.”

Namun, pada 1950-an, Alimin sudah menua, dan ia makin kehilangan pengaruh lagi di PKI.

Hal menarik soal kematian Alimin, majalah Pembina (Vol. 3/1965) pernah memuat tulisan soal kepergian Alimin. Artikel yang ditulis Soliehin Salam itu berjudul: "Alimin Prawirodirdjo, Meninggal dengan Mengutjap Dua Kalimah Sjahadat".

Masuknya Tan Malaka, apalagi Alimin, dalam daftar Pahlawan Nasional akan sangat mustahil terjadi di masa Orde Baru—yang dikenal anti-komunis. Setelah Sukarno lengser, tokoh pergerakan nasional yang pernah jadi Ketua PKI macam Semaoen mustahil dianugerahi gelar pahlawan nasional. Semaoen baru meninggal 1971 ketika Soeharto dan rezim anti-komunisnya berkuasa.

Baca juga: Semaoen: 'Dewan Rakyat Cuma Komedi Omong Kosong'

Baca juga artikel terkait HARI PAHLAWAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS